Velinor

Apa yang Kita Warisi dari Lingkungan Tanpa Sadar?

“Luka yang tak kita kenali, akan menjadi warisan yang kita teruskan tanpa sadar.”
— Anonim

Cover: Bayangan tubuh kecil di tengah rumah tua, dengan cahaya redup menyorot jendela kayu yang tertutup separuh.

Ada banyak hal yang kita pelajari secara diam-diam. Bukan dari buku, bukan dari pengajaran langsung, tapi dari atmosfer—dari caranya orang berbicara di ruang tamu, dari cara ibu menunduk saat tetangga lewat, dari nada ayah yang berubah ketika bicara dengan bosnya. Lingkungan sosial bukan hanya latar tempat kita tumbuh, tapi juga cermin tempat identitas kita dibentuk, dipoles, atau justru dikaburkan.

Sejak kecil, kita belajar untuk menyesuaikan diri. Bukan karena kita diajari secara eksplisit, tapi karena kita menyerap. Seperti spons, kita menyerap ketegangan yang tidak diucapkan, hierarki yang tidak tertulis, dan rasa malu yang diwariskan turun-temurun. Kita belajar untuk tertawa saat orang lain tertawa, bahkan ketika kita tidak mengerti leluconnya. Kita belajar untuk diam saat keberatan terasa tabu. Semua itu, perlahan-lahan, menjadi cara kita membaca dunia. Tanpa sadar, kita telah mewarisi pola.

Yang lebih menarik—dan kadang menyakitkan—adalah bagaimana kita mulai mengulangi pola-pola itu dalam hidup kita sendiri. Kita menegur anak kecil dengan cara yang sama seperti kita dulu ditegur. Kita merasa tidak nyaman ketika harus menolak, karena dulu penolakan dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Kita merasa bersalah saat ingin sesuatu untuk diri sendiri, karena lingkungan mengagungkan pengorbanan tanpa suara.

Apa yang kita warisi dari lingkungan, seringkali bukan ajaran, tapi luka. Sebuah warisan yang dibungkus dalam norma, adat, atau bahkan kasih sayang. Kadang, luka itu diwariskan lewat ketidakhadiran: tidak ada pelukan, tidak ada pujian, tidak ada ruang untuk bertanya. Dan kita pun tumbuh, mencoba menjadi “cukup baik” di tengah bisu yang panjang itu.

Namun ada kabar baiknya: warisan tidak selalu harus dilanjutkan. Kita punya pilihan untuk mengurai ulang, memeriksa ulang, dan menulis ulang narasi hidup kita. Mungkin kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa memilih bagaimana masa depan akan dimulai dari kita.

Dengan keberanian untuk menyadari, kita bisa mulai bertanya:
Apakah suara ini milikku, atau milik orang yang pernah mendiamkanku?
Apakah rasa bersalah ini milikku, atau cermin dari rasa takut yang diwariskan?

Karena sesungguhnya, setiap kesadaran adalah benih perubahan. Dan setiap benih, meskipun kecil, bisa menumbuhkan kehidupan yang berbeda.


Catatan Personal

Tulisan ini lahir dari ruang kontemplasi tentang hal-hal yang dulu kuanggap “biasa saja”—padahal sebenarnya membentuk cara pandangku terhadap diriku sendiri dan dunia. Jika kamu merasa sedang mengurai benang yang kusut dari masa lalu, ingatlah: kamu tidak sendirian. Dan kamu tidak perlu meneruskan warisan yang tidak pernah kamu pilih.

#publik #refleksi