🌫️ Apa yang Tidak Kita Lihat dari Orang yang Kita Hakimi?
"Setiap orang yang kau temui sedang bertarung dalam perang yang tidak kau ketahui. Bersikaplah lembut."
— Plato
Sering kali kita merasa tahu. Tentang seseorang yang terlalu pasif, yang kita anggap malas. Tentang seseorang yang terus-menerus dekat dengan toxic relationship, dan kita berpikir, "kenapa sih gak pergi aja?" Tentang orang yang terlihat lemah, cerewet, pendiam, pelit, terlalu pamer, terlalu banyak mengeluh, atau terlalu diam.
Kita menghakimi bukan hanya karena mereka menyakiti kita, tapi kadang hanya karena mereka berbeda cara hidupnya.
Tapi bagaimana jika yang kita hakimi memang merugikan orang lain?
Bagaimana jika mereka sudah jelas-jelas salah, menyakiti orang, atau bahkan menghancurkan dirinya sendiri?
Apakah kita masih bisa bersikap lembut?
Ini bukan soal membenarkan kesalahan. Tapi tentang menggeser cara kita memandang manusia.
Bahwa di balik kesalahan—bahkan yang menyakitkan—selalu ada cerita yang lebih panjang.
Ada masa lalu yang mungkin tak pernah selesai.
Ada pola yang sudah begitu mengakar, sehingga mereka bahkan tak sadar sedang menyakiti.
Kita tidak pernah benar-benar tahu: bagaimana dunia terasa dari balik kulit orang lain. Kita hanya tahu versi cerita dari luar. Kita hanya menatap dari jarak aman, dengan asumsi dan standar kita sendiri. Lalu menghakimi.
Padahal, betapa sering kita pun berharap dimengerti saat sedang tidak baik-baik saja. Betapa kita ingin dilihat sebagai manusia utuh, bukan hanya dari fragmen kesalahan, kekurangan, atau momen-momen ketika kita sedang kehilangan kendali.
Menjadi manusia adalah proses yang rumit. Dan tak ada satu pun dari kita yang sepenuhnya utuh tanpa retak, tanpa kemarahan yang pernah tak sengaja kita tumpahkan, tanpa keputusan yang kita sesali.
Apa yang tidak kita lihat dari orang yang kita hakimi?
Barangkali rasa takut yang disembunyikan di balik sikap keras.
Barangkali kebutuhan untuk dianggap ada, yang justru keluar dalam bentuk berisik dan dramatis.
Barangkali luka yang diwariskan dari orangtuanya, dari masyarakat, dari dunia yang tak pernah mengajarkan cara mencintai diri.
Kita tak harus menyetujui perilaku mereka. Tapi kita bisa memilih untuk tidak kehilangan sisi lembut kita saat menatapnya.
Karena kadang, ketika kita terlalu larut dalam penghakiman, kita pun lupa bahwa kita juga pernah salah. Kita juga pernah menyakiti, meski tak sengaja. Kita juga pernah jadi orang yang dilabeli bermasalah oleh orang lain.
Dan jika hari ini kita sempat menghakimi seseorang,
semoga kita juga sempat memberi ruang untuk bertanya dalam hati:
"Apa yang sebenarnya tidak aku lihat darinya?"
"Kita tidak harus sepakat dengan seseorang untuk bisa melihat sisi manusianya."