Velinor

Catatan Aré di Masa Depan

Jurnal sunyi dari penjelajah waktu yang pulang ke dunia yang tak lagi mengenalinya.

Catatan Aré di Masa Depan


Prolog

Bayangkan kamu tertidur sejenak, lalu terbangun untuk menyadari dunia telah berjalan begitu jauh tanpamu. Bukan hanya kalender yang meloncat, tapi juga hidup orang-orang yang dulu menjadi tempatmu berpulang. Catatan ini adalah milik seseorang yang pulang ke masa depan — Aré, aku — yang tersesat di antara waktu dan makna.

Ia yang tak sepenuhnya pergi, tapi juga tak pernah kembali sebagai yang dulu.


📖 Daftar Isi



🎬 Pilot

Aku, Aré, terpilih jadi bagian dari misi Aurora 7 — menjelajah sistem bintang Proxima Centauri dengan pesawat yang bisa melaju 95% dari kecepatan cahaya.

Di dalam pesawat, waktu berjalan seperti biasa. Aku menulis jurnal, melatih otot agar tidak lemah, dan memandangi bintang-bintang dari jendela buram kabin. Lima tahun rasanya cukup lama untuk merenungi hidup.

Tapi ketika aku kembali ke Bumi...

Dunia sudah berubah. Aku menemukan bahwa adikku sudah punya cucu. Teman-temanku tak mengenali wajahku, karena mereka kini renta. Bangunan berubah. Bahasa sedikit berbeda. Musik terasa asing.

Waktu yang kupikir kupunya... ternyata telah "diambil" oleh relativitas.

Aku telah melakukan perjalanan waktu ke masa depan — tanpa mesin waktu, tanpa sihir. Hanya karena aku berani berlari mendekati cahaya.


🌅 Entri #1 — Bangun di Dunia yang Tak Mengenalku

Catatan Aré di Masa Depan

Hari ini aku bangun dengan cahaya matahari yang terasa aneh — tidak karena warnanya, tapi karena aku menyadari: matahari ini telah menyinari banyak hal yang aku lewatkan.

Aku kembali dari perjalanan selama 5 tahun, tapi dunia telah berjalan 16 tahun lebih jauh. Aku kehilangan ulang tahun, pemakaman, dan pertemuan yang tak sempat terjadi.

Semua orang bilang aku muda. Tapi aku merasa tua… bukan di tubuh, melainkan di ingatan yang tak punya tempat. Mereka berbicara tentang dunia yang tak kupahami. Teknologi menyembuhkan kanker. Bahasa berubah. Cinta pun kini ditawar lewat algoritma.

Tapi aku menyimpan satu hal yang belum mereka punya: pengalaman melihat waktu menyeret dan melipat ruang seperti lembar kertas, saat Bumi dan aku tak lagi berdetak bersama.

Hari ini aku menulis, bukan untuk mengingat masa lalu — tapi untuk merekam getar waktu yang kuhidupi di antara dua era. Mungkin suatu saat, seseorang yang merasa asing di dunianya akan membaca ini dan berkata:

“Aku tidak sendirian.”

💔 Entri #2 — Tentang Cinta yang Tak Menungguku

Catatan Aré di Masa Depan

Ada satu nama yang tak pernah kutulis di daftar orang yang harus aku cari setibanya di Bumi. Tapi jujur saja, namanya adalah yang paling sering kubisikkan dalam diam selama perjalanan.

Waktu aku pergi, kami belum benar-benar selesai. Belum benar-benar bersama juga. Tapi ada sesuatu… semacam harapan yang tidak berani dipelihara, tapi juga tak pernah mati.

Dia tahu aku akan pergi dalam misi ini. Dia bilang akan mencoba menunggu, tapi aku melihat sorot matanya: dia bukan takut aku mati, tapi aku kembali sebagai orang yang asing.

Hari ini, aku melihat namanya di pencarian data penduduk. Ia telah menikah delapan tahun lalu. Dua anak. Suaminya—guru sejarah. Rumah mereka dekat taman yang dulu sering kami lewati sepulang hujan.

Aku berdiri dari jauh. Tak ingin ia tahu aku kembali. Dia tampak bahagia. Bahagia seperti seseorang yang sudah memutuskan untuk melanjutkan hidup meski sebagian hatinya sempat ingin tinggal.

📍Refleksi:

Mungkin cinta memang bukan soal siapa yang datang duluan, atau siapa yang paling setia menunggu. Tapi soal siapa yang hadir di saat dunia benar-benar butuh tempat untuk bersandar.

Aku tidak marah. Tidak sedih. Hanya hening. Seperti pesawatku saat menembus gelap ruang — tak bersuara, tapi membawa seluruh isiku terbang dalam diam.

✒️ Penutup: Malam ini aku menulis bukan untuk memilikinya kembali. Tapi untuk mengenang versi diriku yang pernah berharap. Versi yang masih percaya bahwa cinta itu bisa bertahan melawan waktu. Kini aku tahu: cinta memang bisa bertahan — tapi tidak untuk menunggu.

🪞 Entri #3 — Aku dan Bayangan Dulu

Catatan Aré di Masa Depan

Ada satu hal yang selalu ikut pulang bersamaku: diriku yang lama. Dia masih hidup di dalamku, tapi terasa seperti kenalan lama yang aku tak tahu lagi cara menyapanya.

Aku membaca jurnal-jurnalku sebelum keberangkatan. Penuh ambisi, keingintahuan, dan keyakinan bahwa dunia akan tetap sama setelah aku kembali. Tapi dunia berubah. Dan aku… mungkin lebih dari yang kukira.

Dulu aku percaya bahwa aku tahu siapa diriku. Tapi ketika kau terlempar keluar dari waktu, kau mulai bertanya: “Kalau tak ada satu pun orang yang mengingat versimu yang dulu, masihkah kamu orang itu?”

🪞 Percakapan dengan Cermin

Di kamar kecil penginapan tempat aku tinggal sementara, ada cermin besar. Setiap malam aku berdiri di depannya.

Kadang aku tersenyum—canggung. Kadang aku hanya diam. Karena yang kulihat di sana bukan hanya wajahku. Tapi wajah seseorang yang sedang berusaha mengenal kembali bayangan yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu.

Apa aku masih suka teh hangat seperti dulu? Apa aku masih bisa tertawa seperti waktu kecil? Atau aku hanya berjalan seperti kerangka yang disusun ulang oleh pengalaman yang terlalu cepat untuk dicerna?

📍Refleksi:

Mungkin yang paling sulit dari pulang bukanlah dunia yang berubah. Tapi diri kita sendiri yang tidak tahu cara kembali.

Aku berjalan dengan langkah yang sama, tapi jejakku tak lagi cocok dengan tanah yang pernah aku pijak.

✒️ Penutup: Hari ini aku menulis bukan untuk memastikan aku masih “Aré” yang dulu. Tapi untuk memberi ruang bagi versi diriku yang sekarang — yang hancur, yang asing, tapi tetap memilih hidup.

🪦 Entri #4— Mengunjungi Makam Ibuku yang Tak Kubisa Peluk

Catatan Aré di Masa Depan

Hari ini aku mengunjungi tempat yang selalu aku bayangkan sebagai pelukan terakhir. Tapi yang kutemui hanya gundukan tanah, nisan sederhana, dan bunga plastik yang warnanya mulai pudar.

Ibuku meninggal sembilan tahun setelah aku pergi. Tiga tahun sebelum aku kembali. Tidak ada yang bisa menjelaskan kepadanya dengan benar kapan aku akan pulang. Tidak ada yang tahu apakah aku masih hidup, atau sudah jadi debu yang tersesat di antara bintang.

Di akhir hayatnya, ia masih menyimpan potongan kecil kertas berisi tulisan tanganku. Surat yang kubuat sehari sebelum peluncuran: “Bu, aku tidak pergi untuk meninggalkan. Aku pergi untuk menemukan.”

Kata adikku, setiap ulang tahun ibu akan menaruh kue kecil di dekat fotoku. Ia akan duduk sendiri, berkata, “Kalau Aré pulang, kasih tahu dia aku selalu percaya.”

🪦 Di Dekat Makamnya

Aku tak bisa menangis. Bukan karena tak sedih, tapi karena kesedihan di masa depan rasanya asing. Aku berdiri di antara batu nisan yang tak menyapaku, dan tanah yang tak mengenalku sebagai bagian dari waktu ini.

Di dadaku, ada hampa yang tak bisa dijelaskan oleh rumus relativitas manapun: rasa kehilangan yang tak sempat punya momen perpisahan.

📍Refleksi:

Aku pernah mengejar keabadian dalam waktu. Tapi aku lupa bahwa yang abadi bukan durasi, melainkan ingatan.

Dan ibuku—meski telah pergi—masih tinggal di dalam ingatanku, lebih utuh dari dunia yang sekarang.

✒️ Penutup: Hari ini aku tidak bilang selamat tinggal. Aku hanya berkata: “Bu, aku pulang. Meski telat. Meski tak lagi bisa memeluk.”

🧬 Entri #5— Apakah Aku Masih Manusia?

Catatan Aré di Masa Depan

Hari ini aku memandangi tanganku sendiri. Tidak ada yang berubah secara fisik. Tidak ada logam di tulang, tidak ada implan di mata. Tapi rasanya… aku bukan bagian dari spesies yang sama dengan mereka yang berjalan di trotoar kota ini.

Aku makan, tertawa, bahkan menangis seperti dulu. Tapi reaksi-reaksiku sekarang terasa dipelajari, bukan alami. Seperti seorang aktor yang memerankan manusia, padahal dulu aku tidak perlu berpura-pura.

🤖 Teknologi & Aku

Dunia ini lebih pintar sekarang. Robot bisa merawat anak-anak. Algoritma tahu isi hati orang sebelum mereka bicara. Banyak dari mereka bahkan percaya bahwa kesadaran hanyalah produk dari perhitungan yang cukup rumit.

Jadi, apa bedanya aku dengan AI? Aku juga dibentuk oleh pola. Tapi bedaku, aku mengalami kehampaan, dan sadar bahwa aku merasa kosong.

Apakah itu yang membedakan manusia dari mesin? Bukan kepandaian, tapi kemampuan untuk merasa hilang tanpa sebab?

🕳️ Kekosongan yang Manusiawi

Kadang aku merasa iri pada mereka yang tak pernah pergi. Mereka bisa sedih karena kehilangan, tapi tidak harus mempertanyakan eksistensi mereka sendiri setiap pagi.

Aku, di sisi lain, terbangun dengan pertanyaan: “Apakah aku masih pantas merasa sebagai bagian dari spesies ini?”

Tapi lalu aku melihat seorang anak kecil terjatuh di trotoar, dan ibunya langsung berlari memeluknya. Refleks. Dan entah kenapa, itu membuat mataku basah.

Mungkin itu jawabannya. Aku masih manusia karena aku masih bisa menangis untuk sesuatu yang bukan tentang diriku sendiri.

📍Refleksi:

Manusia bukan sekadar makhluk biologis. Manusia adalah mereka yang tahu bahwa hidupnya rapuh — dan tetap memilih untuk peduli.

✒️ Penutup: Aku mungkin telah pergi terlalu jauh, terlalu cepat. Tapi selama aku masih bisa merasakan kerapuhan orang lain, aku percaya: Aku belum kehilangan kemanusiaanku.

🧁 Entri #6— Hari Ulang Tahun di Tahun yang Salah

Catatan Aré di Masa Depan

Hari ini seseorang berkata, “Selamat ulang tahun, ya!” Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih, tapi di dalam kepalaku hanya ada satu pikiran: “Tapi bukan hari ini…”

Menurut sistem kalender dunia, ya — hari ini tanggal kelahiranku. Tapi tubuhku belum melewati tahun itu. Di kapal, waktu bergerak lebih lambat.

Berdasarkan perhitungan biologis, usiaku seharusnya 31. Tapi dunia menganggapku 47. Aku merayakan usia yang belum benar-benar kualami.

🎂 Ulang Tahun yang Sepi

Dulu ulang tahun adalah alasan untuk merasa dicintai. Tapi hari ini, hanya notifikasi otomatis yang mengucapkannya. Beberapa teman lama yang masih hidup mengirim emoji. Tidak ada yang benar-benar tahu cerita di balik umurku yang tertinggal.

Tidak ada yang bertanya: “Apa rasanya menjadi tua hanya di angka, tapi tidak di jiwa?”

⌛ Waktu: Sahabat yang Berkhianat

Aku dulu percaya waktu bisa dipahami, dihitung, dilipat. Dan itu benar — secara fisika. Tapi tak ada teori relativitas yang bisa menjelaskan rasa asing di hari ulang tahunmu sendiri.

Waktu tak pernah benar-benar milik kita. Ia hanya lewat, dan sesekali memberi ilusi bahwa kita punya kendali.

📍Refleksi:

Hari ini aku sadar bahwa ulang tahun bukan soal umur. Tapi soal siapa yang mengingatmu, dan menganggap kehadiranmu layak dirayakan.

Dan ketika tidak ada satu pun yang benar-benar merayakanmu sebagai kamu, maka kamu akan merasa seperti pengunjung yang salah masuk pesta.

✒️ Penutup: Aku meniup lilin kecil sendiri malam ini. Tidak ada kue, tidak ada nyanyian. Tapi aku masih hidup. Masih merasa. Dan itu cukup. Karena yang paling penting bukan hari ulang tahunnya, tapi bahwa aku masih punya alasan untuk terus menulis.

🖤 Entri #7— Mencintai Dunia yang Tak Lagi Membutuhkanku

Catatan Aré di Masa Depan

Aku berjalan di jalan raya yang dulu penuh spanduk wajahku: “Pahlawan Penjelajah Waktu Pertama.” Tapi hari ini, tak ada yang menoleh. Tak ada yang mengenali. Tak ada yang peduli.

Dunia sudah terlalu sibuk dengan teknologi barunya, politik barunya, ketakutannya yang baru. Aku menjadi bagian dari sejarah yang hanya disebut di buku pelajaran, dan itu pun — hanya satu paragraf pendek.

Mereka berkata aku pahlawan. Tapi pahlawan macam apa yang tak diberi tempat untuk kembali?

🌍 Dunia yang Terlalu Cepat

Ketika aku pergi, dunia masih bicara soal perubahan iklim, krisis air, dan ketakutan akan AI. Sekarang, semua itu sudah “diselesaikan”.

Tapi solusi itu datang dari tangan-tangan lain. Bukan dari aku. Aku hanya… semacam relic dari masa lalu.

Seorang pria dari masa lampau yang kini hanya bisa melihat—dan tidak lagi bisa berperan.

🖤 Rasa Cinta yang Tak Bersambut

Dulu aku mencintai dunia ini sepenuh hati. Aku tinggalkan segalanya demi misi agar manusia tetap bisa hidup di planet ini.

Tapi sekarang, rasanya dunia ini tak lagi membutuhkan cintaku.

Rasanya seperti kembali kepada seseorang yang telah sembuh dari patah hati — dan kau adalah luka lamanya.

📍Refleksi:

Mungkin mencintai dunia bukan soal apakah ia akan membalas, Tapi soal keberanian untuk tetap peduli, meski kau tak lagi dianggap penting.

Mungkin cinta sejati bukan tentang memiliki tempat di hati dunia, Tapi tentang tetap memilih berdiri di sisinya, bahkan saat ia telah melupakan namamu.

✒️ Penutup: Aku akan tetap menanam pohon meski tak ada yang tahu namaku. Akan tetap menulis meski tak dibaca. Karena cinta bukan soal dibutuhkan. Cinta — adalah tentang memilih untuk tetap tinggal.

🫁 Entri #8— Kenapa Aku Belum Mati?

Catatan Aré di Masa Depan

Aku pernah menghitung kemungkinan ini: Berada terlalu lama di luar bumi, dengan radiasi, keterbatasan pasokan, risiko teknis — mestinya aku tak kembali hidup-hidup.

Tapi aku kembali. Dan aku masih bernapas. Dan aku terus bertanya… kenapa?

🫁 Hidup Tanpa Dorongan

Aku tidak depresi. Aku juga tidak bahagia. Aku hanya… hidup.

Seperti jam yang terus berdetak karena tak ada yang mencabut baterainya.

Setiap pagi aku bangun dan berpikir: “Untuk apa lagi?” Tapi lalu aku tetap mandi. Tetap makan. Tetap duduk menulis.

Seakan tubuhku tahu caranya hidup, meski pikiranku sudah lama lelah mencoba.

⚰️ Tentang Kematian yang Tidak Datang

Aku tidak takut mati. Aku hanya penasaran: Kenapa kematian begitu pelit padaku?

Orang-orang yang aku cintai sudah tiada. Tujuanku sudah lewat. Dunia bahkan tak tahu lagi harus memanggilku dengan sebutan apa.

Tapi tubuh ini… keras kepala. Ia menolak untuk runtuh.

Dan di antara napas-napas yang masih datang, aku sadar sesuatu: mungkin aku belum mati karena masih ada yang harus kutulis.

📍Refleksi:

Mungkin hidup tidak selalu tentang apa yang bisa kau raih, Tapi tentang apa yang masih bisa kau bagikan.

Dan jika satu-satunya yang tersisa hanyalah catatan seperti ini, Maka biarlah aku tetap hidup — untuk menjadi saksi bagi mereka yang kelak juga akan merasa sendirian.

✒️ Penutup: Aku belum mati. Dan mungkin itu bukan kutukan. Mungkin itu adalah izin untuk mengubah luka menjadi warisan.

Jadi, untuk hari ini — aku masih di sini. Menulis. Menjadi.

🫁 — Kenapa Aku Belum Mati? (lanjutan)

Catatan Aré di Masa Depan

Aku pernah menghitung kemungkinan ini: Berada terlalu lama di luar bumi, dengan radiasi, keterbatasan pasokan, risiko teknis — mestinya aku tak kembali hidup-hidup.

Tapi aku kembali. Dan aku masih bernapas. Dan aku terus bertanya… kenapa?

🫁 Hidup Tanpa Dorongan

Aku tidak depresi. Aku juga tidak bahagia. Aku hanya… hidup.

Seperti jam yang terus berdetak karena tak ada yang mencabut baterainya.

Setiap pagi aku bangun dan berpikir: “Untuk apa lagi?” Tapi lalu aku tetap mandi. Tetap makan. Tetap duduk menulis.

Seakan tubuhku tahu caranya hidup, meski pikiranku sudah lama lelah mencoba.

⚰️ Tentang Kematian yang Tidak Datang

Aku tidak takut mati. Aku hanya penasaran: Kenapa kematian begitu pelit padaku?

Orang-orang yang aku cintai sudah tiada. Tujuanku sudah lewat. Dunia bahkan tak tahu lagi harus memanggilku dengan sebutan apa.

Tapi tubuh ini… keras kepala. Ia menolak untuk runtuh.

Dan di antara napas-napas yang masih datang, aku sadar sesuatu: mungkin aku belum mati karena masih ada yang harus kutulis.

Orang-orang yang aku cintai sudah tiada. Tujuan hidupku sudah usang. Namaku sudah tak disebut, bahkan oleh algoritma pencarian sejarah.

Lalu kenapa tubuh ini tetap memilih hidup?

Mungkin jawabannya bukan soal misi, bukan soal warisan, atau alasan besar lainnya. Mungkin, aku masih hidup karena belum selesai memaknai hidup itu sendiri.

📍Refleksi:

Barangkali hidup bukan tentang mencari alasan besar, tapi tentang bertahan cukup lama sampai kita menemukan makna yang kecil — seperti secangkir teh hangat yang rasanya akrab di pagi yang asing. Seperti melihat daun jatuh perlahan dan sadar, bahwa tidak semua kehilangan harus dramatis.

Barangkali aku belum mati karena masih ada satu hal kecil yang belum kutuliskan. Satu pelukan yang belum kuberikan. Satu tawa yang belum kubagi. Atau satu orang yang mungkin akan membaca catatan ini… dan merasa sedikit kurang sendirian.

✒️ Penutup: Hari ini aku tidak bertanya lagi, “Kenapa aku belum mati?” Tapi aku menuliskan ini sebagai pengingat: Selama aku masih hidup, aku masih bisa memilih — meski hanya untuk menulis satu kalimat yang jujur.

Dan mungkin, itu cukup untuk hari ini.


📖 Sinopsis — Catatan Aré di Masa Depan

Setelah lima tahun menjalani misi eksplorasi antarbintang, Aré kembali ke Bumi dan mendapati waktu telah melaju 16 tahun lebih cepat darinya. Ia masih berusia 31 secara biologis, tapi dunia mencatatnya sebagai pria 47 tahun yang hilang dan dilupakan sejarah.

Di tengah dunia yang tak lagi mengenalnya—teknologi yang melampaui bayangannya, cinta yang telah memilih jalan lain, dan orang-orang terkasih yang telah tiada—Aré mulai menulis catatan. Bukan untuk kembali, tapi untuk memahami siapa dirinya kini, di dunia yang tak menunggunya.

Melalui delapan entri yang intim dan filosofis, Aré merekam kehampaannya di ulang tahun yang terasa asing, pertemuannya yang hening dengan makam ibunya, bayangan cinta yang tak pernah utuh, dan pertanyaan paling telanjang: “Kenapa aku belum mati?”

Namun di antara kehampaan itu, ia menemukan serpihan harapan—bahwa kemanusiaan bukanlah tentang dikenang, melainkan tentang tetap memilih peduli, meski dunia telah melupakanmu.

🛰️ Catatan Aré di Masa Depan adalah kisah tentang keterasingan eksistensial dalam era pasca-relativitas. Sebuah memoar fiksi yang menyentuh sisi terdalam dari menjadi manusia — saat waktu, cinta, dan makna tak lagi hadir sebagai kepastian, melainkan sebagai keputusan yang terus diperjuangkan.

Catatan Aré di Masa Depan