Catatan Hari 2
Hari 2 – Menemukan Terima Kasih yang Tak Pernah Terucap
Hari ini aku melanjutkan tantangan 30 Hari Mind Mastery—dan jujur, latihan 1 menit ini jauh lebih menggugah dari yang kupikirkan.
Awalnya, aku kesulitan mengikuti instruksinya dengan tenang. Saat diminta membayangkan cahaya terang, pikiranku justru sibuk mencari logika—"cahaya seperti apa?", "kenapa nggak bisa aku lihat jelas?", dan sebagainya. Tapi kemudian aku menyadari: ini bukan tentang visual yang sempurna, melainkan tentang merasakan. Maka, aku mulai ulang dari awal.
Aku pejamkan mata, menarik napas dalam, dan membayangkan ada cahaya hangat mengalir perlahan dari ubun-ubun hingga ke seluruh tubuh. Mungkin bukan visual spektakuler, tapi ada perasaan ringan—seperti tubuhku melepaskan sesuatu yang lama mengendap. Saat menghembuskan napas, aku rasakan semacam kelegaan—pelan, tapi nyata.
Lalu masuk ke fase berikutnya: 30 detik merasakan seolah semua sudah terwujud. Aku membayangkan tubuhku sehat, hidupku lapang, dan perasaanku tenang. Sulit dijelaskan, tapi ada momen ketika aku merasa: semua baik-baik saja. Seolah-olah aku sudah sampai. Tidak ada yang harus dikejar. Tidak ada yang kurang.
Yang paling mengejutkan datang di akhir: saat aku diminta bersyukur, tiba-tiba saja muncul rasa terima kasih yang sangat dalam. Kepada alam semesta. Kepada hidup. Dan yang paling kuat—kepada orang tuaku.
Mungkin ini pertama kalinya aku sungguh-sungguh bisa berkata dalam hati: terima kasih.
Bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka ada. Karena melalui mereka, aku ada.
Saat menulis ini, aku merinding. Ada keharuan yang sulit didefinisikan. Dan ada keyakinan baru yang mulai tumbuh—bahwa di balik semua proses ini, aku sedang bergerak pulang.
Bukan ke tempat, tapi ke versi diriku yang lebih utuh.
Terima kasih untuk hari ini.
Terima kasih untuk cahaya yang pelan-pelan mulai bisa kurasakan.