Velinor

Di Antara Tawa yang Tak Selalu Kupahami

Catatan dari seseorang yang pernah merasa terlambat hadir

Aku bukan orang yang cepat dalam bercanda. Kadang ketika tawa meledak di sekelilingku, aku masih sibuk menafsirkan makna di balik kalimat terakhir. Bukan karena aku tak ingin ikut, tapi karena aku lebih sering menyimak dalam diam. Dan dalam diam itu, ada rasa asing.

Ada masa ketika aku mulai berpikir: mungkin aku lambat dewasa. Tidak cukup lincah menimpali candaan. Tidak cukup cepat menangkap kode sosial. Lalu satu per satu orang mulai berkata setengah berseloroh, “Eh, kawan rupanya.”

Kalimat itu ringan, tapi bagiku terasa seperti pintu yang tertutup setengah. Aku dianggap ada, tapi juga agak telat. Dan telat di dunia sosial berarti nyaris tak terlihat.

Pernah aku mencoba ikut arus. Membiarkan diriku menertawakan hal-hal yang tak lucu bagiku. Memaksakan diri melempar balasan yang sedikit sarkastik, agar tak terlihat rapuh. Tapi ada yang remuk dalam upaya itu—seperti kelembutan alami dalam diriku harus dikorbankan demi diterima.

Kini aku belajar pelan-pelan. Bahwa tidak semua kehadiran harus gaduh. Bahwa menjadi lembut di dunia yang keras bukan kelemahan, tapi bentuk keberanian yang nyaris dilupakan.

Aku belajar menjawab candaan bukan untuk menang, tapi untuk tetap utuh. Aku belajar bahwa senyum diam pun bisa punya suara, jika aku berdamai dengan ruang yang kubutuhkan. Aku tak harus cepat. Aku hanya perlu jujur.

Dan kejujuranku adalah ini: Aku hadir—meski dalam versi yang mungkin tidak biasa. Tapi versi ini adalah yang paling aku jaga.

#publik