Entri #4: “Mengunjungi Makam Ibuku yang Tak Kubisa Peluk”
📓 Catatan Aré di Masa Depan
Entri #4: “Mengunjungi Makam Ibuku yang Tak Kubisa Peluk”
Hari ini aku mengunjungi tempat yang selalu aku bayangkan sebagai pelukan terakhir. Tapi yang kutemui hanya gundukan tanah, nisan sederhana, dan bunga plastik yang warnanya mulai pudar.
Ibuku meninggal sembilan tahun setelah aku pergi. Tiga tahun sebelum aku kembali. Tidak ada yang bisa menjelaskan kepadanya dengan benar kapan aku akan pulang. Tidak ada yang tahu apakah aku masih hidup, atau sudah jadi debu yang tersesat di antara bintang.
Di akhir hayatnya, ia masih menyimpan potongan kecil kertas berisi tulisan tanganku. Surat yang kubuat sehari sebelum peluncuran: “Bu, aku tidak pergi untuk meninggalkan. Aku pergi untuk menemukan.”
Kata adikku, setiap ulang tahun ibu akan menaruh kue kecil di dekat fotoku. Ia akan duduk sendiri, berkata, “Kalau Aré pulang, kasih tahu dia aku selalu percaya.”
🪦 Di Dekat Makamnya
Aku tak bisa menangis. Bukan karena tak sedih, tapi karena kesedihan di masa depan rasanya asing. Aku berdiri di antara batu nisan yang tak menyapaku, dan tanah yang tak mengenalku sebagai bagian dari waktu ini.
Di dadaku, ada hampa yang tak bisa dijelaskan oleh rumus relativitas manapun: rasa kehilangan yang tak sempat punya momen perpisahan.
📍Refleksi:
Aku pernah mengejar keabadian dalam waktu. Tapi aku lupa bahwa yang abadi bukan durasi, melainkan ingatan.
Dan ibuku—meski telah pergi—masih tinggal di dalam ingatanku, lebih utuh dari dunia yang sekarang.
✒️ Penutup entri:
Hari ini aku tidak bilang selamat tinggal. Aku hanya berkata: “Bu, aku pulang. Meski telat. Meski tak lagi bisa memeluk.”