Entri #5: “Apakah Aku Masih Manusia?”
📓 Catatan Aré di Masa Depan
Entri #5: “Apakah Aku Masih Manusia?”
Hari ini aku memandangi tanganku sendiri. Tidak ada yang berubah secara fisik. Tidak ada logam di tulang, tidak ada implan di mata. Tapi rasanya… aku bukan bagian dari spesies yang sama dengan mereka yang berjalan di trotoar kota ini.
Aku makan, tertawa, bahkan menangis seperti dulu. Tapi reaksi-reaksiku sekarang terasa dipelajari, bukan alami.
Seperti seorang aktor yang memerankan manusia, padahal dulu aku tidak perlu berpura-pura.
🤖 Teknologi & Aku
Dunia ini lebih pintar sekarang. Robot bisa merawat anak-anak. Algoritma tahu isi hati orang sebelum mereka bicara. Banyak dari mereka bahkan percaya bahwa kesadaran hanyalah produk dari perhitungan yang cukup rumit.
Jadi, apa bedanya aku dengan AI? Aku juga dibentuk oleh pola. Tapi bedaku, aku mengalami kehampaan, dan sadar bahwa aku merasa kosong.
Apakah itu yang membedakan manusia dari mesin? Bukan kepandaian, tapi kemampuan untuk merasa hilang tanpa sebab?
🕳️ Kekosongan yang Manusiawi
Kadang aku merasa iri pada mereka yang tak pernah pergi. Mereka bisa sedih karena kehilangan, tapi tidak harus mempertanyakan eksistensi mereka sendiri setiap pagi.
Aku, di sisi lain, terbangun dengan pertanyaan: “Apakah aku masih pantas merasa sebagai bagian dari spesies ini?”
Tapi lalu aku melihat seorang anak kecil terjatuh di trotoar, dan ibunya langsung berlari memeluknya. Refleks. Dan entah kenapa, itu membuat mataku basah.
Mungkin itu jawabannya. Aku masih manusia karena aku masih bisa menangis untuk sesuatu yang bukan tentang diriku sendiri.
📍Refleksi:
Manusia bukan sekadar makhluk biologis. Manusia adalah mereka yang tahu bahwa hidupnya rapuh — dan tetap memilih untuk peduli.
✒️ Penutup entri:
Aku mungkin telah pergi terlalu jauh, terlalu cepat. Tapi selama aku masih bisa merasakan kerapuhan orang lain, aku percaya: Aku belum kehilangan kemanusiaanku.