Jebakan di Balik Kata “Bisa Sendiri”
Ada masa ketika kita merasa begitu kuat.
Tugas-tugas selesai tanpa banyak bantuan, keputusan diambil dengan mantap, dan setiap tantangan seolah bisa dilawan sendirian. Kita menyebutnya kemandirian. Kita bangga karenanya. Namun, diam-diam, ada sebuah jebakan yang jarang kita sadari: keyakinan bahwa kita selalu mampu melakukan semuanya sendiri.
Pada awalnya, rasa mampu itu menumbuhkan kepercayaan diri. Tapi perlahan, ia membungkus kita dalam kesunyian. Kita menutup pintu bagi masukan, lupa bahwa mata orang lain bisa melihat sudut yang tak terjangkau pandangan kita. Kita menolak tangan yang terulur, bukan karena tidak butuh, tapi karena takut terlihat lemah. Padahal, menerima bantuan bukan tanda kekurangan—ia adalah pengakuan bahwa hidup ini adalah kerja bersama.
Jebakannya muncul ketika kemandirian berubah menjadi benteng yang memisahkan kita dari dunia. Kita lupa bahwa setiap orang adalah jejaring: terhubung, saling menopang, saling mengisi. Ada hal-hal yang tak bisa kita jangkau sendiri, meskipun kita berusaha keras. Ada beban yang menjadi ringan hanya karena dibagi.
Mungkin, kebijaksanaan justru lahir ketika kita mampu mengatakan, “Aku tidak bisa sendiri, dan itu tidak apa-apa.” Sebab, kekuatan sejati bukanlah mampu menanggung segalanya seorang diri, melainkan tahu kapan harus berjalan bersama, kapan harus membiarkan orang lain menjadi bagian dari perjalanan kita.