Kenapa Aku Masih Mengingat Lena?
“Beberapa nama tidak tinggal di hidup kita, tapi tinggal di dalam kita.”
— Anonim
Ada nama yang tidak pernah benar-benar pergi, bahkan ketika harinya sudah lama berlalu. Lena—satu nama itu—masih bergema dalam ruang-ruang sunyi di kepalaku. Bukan karena aku tidak bisa melupakannya, tapi karena aku belum selesai memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara kami. Bukan tentang romansa yang meledak-ledak, bukan juga tentang drama yang menjatuhkan, tapi tentang sebuah kedekatan yang terasa benar... dan entah bagaimana, tidak sempat jadi nyata sepenuhnya.
Aku sering bertanya pada diri sendiri, kenapa aku masih mengingatnya? Apa yang membuat Lena tetap tinggal, bahkan saat dunia terus berubah dan orang-orang datang silih berganti?
Mungkin karena di dekatnya aku pernah merasa ringan. Tidak harus menjadi versi hebat dari diriku. Tidak harus menjelaskan terlalu banyak. Seolah ia bisa membaca bahasa yang tidak pernah kuucapkan. Mungkin karena Lena adalah jeda—di antara kelelahan hidup yang penuh tuntutan dan ekspektasi, ia hadir sebagai momen tenang yang jarang.
Atau bisa jadi karena semua ini tidak pernah benar-benar tuntas. Kami tak sempat bicara tentang perasaan yang menggantung. Tak ada titik, tak ada koma, hanya jeda panjang yang berubah jadi kekosongan. Otak manusia tidak suka cerita yang tidak selesai. Jadi ia terus memutar kembali, mencoba menemukan ujung yang tak pernah dijahit.
Namun yang paling jujur adalah ini: Lena bukan hanya tentang dirinya. Ia mewakili bagian dari diriku yang masih mencari. Mewakili harapan akan hubungan yang aman, penuh pengertian, dan tidak perlu banyak kata untuk merasa cukup. Lena mungkin adalah metafora dari sesuatu yang lebih besar—kerinduan akan keterhubungan yang tidak bersyarat.
Aku tidak tahu apakah aku akan bertemu Lena lagi. Tapi aku tahu, mengenangnya bukanlah kelemahan. Itu adalah bentuk penghormatan terhadap bagian dari diriku yang pernah hidup—yang pernah berharap, yang pernah berani merasa.
Dan dalam setiap ingatan yang datang, aku belajar sedikit demi sedikit: bahwa bukan melupakan yang penting, tapi memahami. Karena dari pemahaman itu, aku bisa melangkah, bukan untuk menutup luka, tapi untuk menerima bahwa tidak semua yang bermakna harus dimiliki.