Ketika Aku Menjadi Orang Tua
Ada masa ketika aku merasa penuh dengan kekurangan: gengsiku tinggi, pergaulanku sempit, kelemahanku banyak, dan kebanggaan hampir tak pernah singgah. Di situlah aku sering bertanya-tanya, mengapa orang tua begitu sering menggantungkan cita-cita mereka pada anak? Seolah-olah hidupku hanyalah perpanjangan dari keinginan yang belum sempat mereka capai.
Kini, waktu berputar. Aku berdiri di tempat yang dulu kutatap dengan getir: aku sendiri telah menjadi orang tua.
Dan di titik ini, aku mulai mengerti. Ada rasa cemas yang halus—takut anakku mengalami kesulitan yang pernah kualami. Ada keinginan diam-diam—agar ia lebih kuat dari diriku, lebih berani, lebih luas pergaulannya, lebih banyak kebanggaannya. Aku menyadari, di balik kasih sayang, selalu ada bayangan masa lalu yang ingin ditebus melalui anak.
Tapi aku juga tahu, cinta sejati tak boleh menjadikan anak sebagai beban cita-cita yang tak sempat kujalani. Cinta sejati adalah ruang yang membiarkan ia tumbuh dengan langkahnya sendiri, meski langkah itu berbeda dari apa yang kubayangkan.
Aku ingin anakku melihatku bukan sebagai penentu jalan, melainkan sebagai penuntun arah. Aku ingin ia merasakan kehangatan, bukan tekanan. Aku ingin ia menemukan kebanggaannya sendiri, bukan sekadar memenuhi dahaga kebanggaanku yang dulu hilang.
Dan di sanalah aku belajar ulang arti menjadi orang tua: bukan hanya soal memberi, tapi juga menerima—menerima bahwa anak adalah jiwa yang merdeka. Bukan hanya soal mengajarkan, tapi juga mendengarkan—mendengarkan isyarat kecil yang ia bawa dari semesta.
Hari ini, setiap tawa anakku adalah kebanggaan yang tak pernah kudapat dari diriku sendiri. Setiap langkah kecilnya adalah penebus luka lama yang perlahan-lahan sembuh.
Aku mengerti kini: menjadi orang tua bukan tentang menyambung cita-cita yang putus, melainkan tentang merawat sebuah jiwa, agar ia tak pernah merasa sendirian.