Ketika Diam Dianggap Sombong
Refleksi tentang Luka, Daya Tahan, dan Cara Kita Bertahan Hidup
“Just because I don’t react, doesn’t mean I didn’t notice.” —Unknown
Tidak semua orang yang diam adalah sombong. Tapi dunia sering terburu-buru menilai. Kita hidup dalam masyarakat yang memuja ekspresi cepat dan komunikasi instan. Siapa pun yang tak segera menjelaskan maksudnya bisa dengan mudah dicap: dingin, tertutup, bahkan arogan. Saya tahu itu karena saya pernah—dan masih sering—mengalaminya.
Saya terbiasa diam. Bukan karena merasa lebih pandai, bukan juga karena malas bicara. Tapi karena saya ingin menjaga sesuatu yang rapuh dalam diri saya. Saya tidak ingin terlihat lemah. Diam saya adalah bentuk kontrol, upaya untuk tetap terlihat kuat di hadapan dunia yang saya tahu tidak selalu peduli. Saya tidak ingin menunjukkan bahwa saya sebenarnya juga butuh dimengerti, bahwa saya juga bisa terluka.
Tentu saja, dari luar, sikap itu mudah dibaca sebagai kesombongan. Tapi tak banyak yang tahu bahwa diam saya justru lahir dari luka—bukan dari rasa unggul.
“To protect oneself is to sometimes disappear from the noise, even when your silence is mistaken for pride.” —Yung Pueblo
Ada saat-saat di masa lalu ketika saya mencoba menjelaskan perasaan atau maksud saya. Tapi respons yang datang sering kali membuat saya merasa lebih sunyi: disalahpahami, dipatahkan, atau sekadar diabaikan. Di titik itu, saya mulai belajar untuk menyaring: mana yang pantas diberi penjelasan, dan mana yang sebaiknya saya simpan sendiri. Bukan karena saya tidak ingin terhubung, tapi karena saya tak sanggup lagi menjelaskan diri di ruang yang tak peduli.
Namun saya juga menyadari sesuatu yang menyakitkan: semakin saya diam, semakin saya merasa terasing. Saya mulai merasa tak benar-benar hadir di dunia orang lain. Mereka hanya melihat sisi saya yang tenang, mungkin kuat, tapi tak pernah tahu bahwa di balik itu ada keinginan untuk dimengerti—bukan dengan logika, tapi dengan kehadiran.
Saya juga mulai berpikir soal makna sebenarnya dari kesombongan. Apa benar semua yang memilih diam itu sombong? Atau kita yang terlalu sempit dalam memahami bahasa manusia?
Saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan: kesombongan sejati bukan tentang bicara atau diam. Tapi tentang ketidakpedulian terhadap pemahaman bersama. Orang yang sombong tak mau menjalin dialog, tak peduli jika orang lain salah mengerti, dan tak punya niat untuk saling mengerti. Sementara saya? Saya diam karena saya ingin melindungi yang rapuh, bukan karena saya merasa lebih.
“Sometimes the strongest people are the ones who say nothing at all, quietly fighting battles no one sees.” —Unknown
Dari semua ini, saya mulai belajar kembali makna kekuatan. Bahwa kuat bukan berarti tak berbicara. Bahwa tak semua hal harus dijelaskan, tapi juga tidak semua luka harus disembunyikan selamanya. Saya ingin, perlahan-lahan, belajar berbicara lagi. Bukan karena saya takut dianggap sombong. Tapi karena saya rindu koneksi yang tulus—yang tidak menuntut saya menjelaskan semuanya, tapi tetap mau hadir di dalamnya.
Kadang, kekuatan justru muncul dari keberanian untuk membuka suara—meski pelan, meski gemetar, dan meski belum tentu dipahami.
“Penulis adalah seseorang yang sedang belajar menjadikan keheningan sebagai bahasa yang utuh. Ia percaya bahwa tidak semua luka butuh penjelasan, tapi semua luka layak dihormati.”