Velinor

Ketika Menggoda Tak Lagi Ringan: Refleksi atas Normalisasi Objektifikasi

Di lingkungan tempatku tumbuh dan berinteraksi, menggoda perempuan tampaknya dianggap hal yang lumrah, kadang bahkan dirayakan sebagai bentuk kejantanan atau keakraban. Sebuah siulan di jalan, candaan bernada seksual, atau komentar tentang tubuh sering kali meluncur begitu saja—terutama ketika ada perempuan yang lewat atau masuk ke ruang sosial kami. Di antara laki-laki, itu seperti kebiasaan turun-temurun yang tak perlu dipertanyakan. Tapi aku, entah sejak kapan, merasa tak nyaman.

Aku tahu, ketertarikan seksual adalah hal alami. Tak kupungkiri, aku pun bisa merasakan debar yang sama ketika melihat seseorang yang menarik. Tapi ada garis tipis—yang sering kali dilanggar—antara mengagumi secara diam-diam dan melontarkan komentar tanpa empati. Dan garis itu, sayangnya, sering dianggap tak penting oleh banyak orang di sekitarku.

Yang membuatku terusik bukan hanya aksi menggoda itu sendiri, tapi kondisi saat itu yang sering kali tidak tepat: ketika perempuan sedang bekerja, ketika mereka hanya lewat tanpa mencari atensi, atau ketika mereka justru tampak tak nyaman. Bahkan saat mereka diam, itu dianggap sebagai bentuk penerimaan. Padahal diam bisa berarti seribu hal, termasuk takut, jengah, atau tak ingin ribut.

Yang juga menyedihkan adalah kurangnya kesadaran bahwa menggoda bukanlah hal netral. Ia adalah aksi dengan beban kuasa. Dan ketika dilakukan secara sepihak, apalagi tanpa sensitivitas, ia berubah menjadi bentuk pelecehan, meski dibungkus canda.

Aku pernah mencoba menegur atau bertanya, "Apa gak takut dia ngerasa gak aman?" Jawabannya hampir selalu serupa: "Biasa aja, santai kali." Seolah perasaan perempuan bisa diabaikan karena laki-laki punya kebebasan penuh untuk mengutarakan hasratnya kapan pun dan di mana pun. Seolah menggoda adalah hak kodrati, bukan sesuatu yang perlu etika.

Sebagai laki-laki, aku merasa perlu menolak narasi ini—bukan karena aku lebih suci, tapi karena aku tahu bagaimana rasanya jadi manusia yang dilihat bukan karena siapa dirinya, tapi karena tubuhnya. Aku juga tahu, relasi yang sehat tidak dibangun dari keisengan, tapi dari rasa hormat.

Menggoda, bila hadir dalam ruang yang setara, bisa jadi seni komunikasi yang menyenangkan. Tapi jika dilakukan tanpa empati, tanpa membaca situasi, dan tanpa persetujuan—ia bukan lagi godaan, melainkan tekanan. Dan aku memilih untuk tidak diam ketika melihatnya.

#publik #refleksi