Ketika Rasa Aman Tergantung pada Tatapan Orang Lain
“Apa aku terlihat cukup baik? Apakah aku disukai? Apakah aku salah?”
Kadang pertanyaan itu muncul bukan dari pikiran, tapi dari tatapan orang lain yang menembus batas dirimu.
Ada momen-momen ketika aku memasuki sebuah ruangan dan langsung merasa kecil. Bukan karena ada yang berkata buruk. Bukan pula karena ada yang benar-benar menghakimi. Tapi karena aku merasa sedang diamati. Tatapan-tatapan itu, entah sadar atau tidak, sering kali menciptakan ruang tak aman dalam diriku. Dan tanpa sadar pula, aku mulai menyesuaikan diri. Senyum seperlunya, diam lebih banyak, hati-hati dalam berkata, dan menakar setiap gestur.
Kenapa rasa aman bisa semudah itu goyah?
Karena sebagian dari kita tumbuh dengan belajar untuk “membaca suasana.” Kita dilatih untuk peka terhadap ekspresi, nada, bahkan keheningan. Kita belajar bahwa bertahan berarti mampu menyesuaikan. Dan menyesuaikan berarti membaca tatapan—apakah mereka marah? Kecewa? Tidak suka?
Dalam banyak relasi sosial, kita sering kali berkamuflase demi diterima. Bahkan sebelum mengenali siapa diri kita, kita lebih dulu mengenali bagaimana orang lain ingin melihat kita. Kita menggambar diri dengan kaca mata orang lain, berharap bahwa jika mereka menerima, maka kita aman. Namun kenyataannya, penerimaan itu fana, rapuh, dan sering kali berubah-ubah.
Rasa aman yang tergantung pada tatapan orang lain bukan hanya melelahkan, tapi memudarkan diri sendiri. Kita mulai melupakan seperti apa ekspresi alami kita ketika tidak diawasi. Kita lupa bagaimana rasanya berbicara tanpa menimbang apakah ini akan membuat kita disukai. Kita kehilangan spontanitas karena terlalu sibuk jadi “versi yang aman dilihat.”
Tapi semua ini tidak datang dari ruang kosong. Ia datang dari masa lalu yang membentuk kita. Dari pengalaman ditertawakan saat bicara jujur. Dari trauma diabaikan saat bersikap natural. Dari luka-luka kecil yang tertumpuk dan kini menjelma jadi kebutuhan akan kontrol terhadap bagaimana kita dilihat.
Refleksi ini bukan tentang menyalahkan. Tapi tentang menyadari bahwa kita punya ruang untuk menyembuhkan. Kita boleh belajar untuk membangun rasa aman dari dalam. Kita boleh berhenti menjadikan pandangan luar sebagai tolok ukur keberhargaan. Dan pelan-pelan, kita boleh kembali menjadi diri sendiri—tanpa perlu takut menjadi tidak sesuai.
Karena pada akhirnya, rasa aman sejati bukan terletak pada apakah orang lain menyukai kita,
melainkan pada keberanian untuk menyukai diri kita sendiri... bahkan ketika tidak ada yang menatap.