Ketika Relasi Sosial Hanya Retorika
Ada saat ketika kata-kata di ruang sosial kehilangan bobotnya.
Pertanyaan, jawaban, bahkan percakapan, hanya menjadi retorika—
sebuah formalitas untuk menjaga alur, bukan untuk sungguh-sungguh memahami.
Dalam ruang seperti itu, bertanya terasa rapuh:
seolah mengakui kelemahan di tengah permainan kata yang sibuk menegakkan citra.
Di sinilah paradoks muncul.
Bertanya, yang sejatinya adalah tanda keberanian dan rasa ingin tahu,
justru terlihat seperti menyerahkan kuasa pada orang lain.
Kita mulai menimbang:
apakah pertanyaan ini akan membuatku terlihat lemah?
Apakah orang lain akan memelintirnya jadi senjata?
Namun, bila kita mau jujur, justru di balik retorika itulah pertanyaan menemukan maknanya.
Karena bertanya tidak selalu ditujukan untuk orang lain;
ia juga ditujukan untuk diri sendiri.
Dengan bertanya, kita merawat keaslian,
menolak untuk terjebak dalam kepalsuan kata-kata.
Mungkin dunia sosial hanya menawarkan retorika,
tapi keberanian untuk tetap bertanya adalah cara kecil untuk melampaui retorika itu.
🌿 Pertanyaan bukan sekadar alat komunikasi,
melainkan pernyataan eksistensi: aku masih ingin tahu,
aku masih tumbuh, dan aku tidak takut mengakui bahwa aku manusia yang terbatas.