Velinor

Ketika Trauma Pola Asuh Diperparah oleh Trauma Cinta

Ada luka yang diam-diam berakar jauh sebelum kita mengerti arti kehilangan. Trauma pola asuh adalah pondasi awal: ia membentuk cara kita memahami diri, dunia, dan hubungan. Dari sana, kita belajar—atau gagal belajar—apa itu rasa aman, kasih, dan keberadaan yang diterima apa adanya.

Namun, ketika kehidupan menghadirkan cinta, luka lama itu sering kali terpantul. Kita memasuki hubungan dengan hati yang penuh harap, tetapi juga dengan bekas luka yang belum sembuh. Maka, ketika cinta melukai, sakitnya bukan hanya peristiwa kini, melainkan juga gema dari masa lalu.

Trauma cinta memperparah trauma pola asuh dalam dua cara:

  1. Menguatkan Luka Lama
    Rasa penolakan yang dulu kita alami dari orangtua bisa menjelma menjadi keyakinan bahwa kita memang tidak pantas dicinta. Ketika pasangan pergi atau mengkhianati, keyakinan itu terasa semakin benar, seolah takdir yang tak bisa digugat.

  2. Menambahkan Luka Baru
    Cinta yang patah tidak hanya mengulang masa lalu, tapi juga menciptakan lapisan baru: ketakutan untuk percaya lagi, kecemasan berlebih saat dekat dengan seseorang, atau kecenderungan menjauh sebelum benar-benar tersakiti.

Perpaduan ini menjadikan jiwa seperti rumah yang retaknya bertambah tiap kali badai datang. Dan kita pun bertanya: apakah ada cinta yang benar-benar aman?

Jawaban itu tidak sederhana, tapi perjalanan pulang selalu mungkin. Dimulai dari menyadari bahwa luka ini bukan kesalahan kita, melainkan warisan dari pengalaman yang lebih besar daripada daya kita ketika kecil. Dari kesadaran itu, kita bisa belajar merangkul diri, memulihkan pondasi, dan membuka ruang bagi cinta yang tidak lagi melukai, melainkan menumbuhkan.

Karena barangkali, yang pertama-tama perlu kita cintai bukanlah orang lain—melainkan diri kita yang pernah hilang di masa kecil, dan kini sedang menunggu untuk dipeluk pulang.

#publik