Velinor

Laki-laki dan Luka yang Disimpan Diam-diam

Laki-laki dan Luka yang Disimpan Diam-diam

"Bukan kekuatan yang membuat kita bertahan,
tapi keberanian untuk mengakui bahwa kita sedang terluka."

— Catatan dari Lelaki yang Belajar Pulih

Sejak kecil, kami diajari banyak hal:
cara menggenggam tanggung jawab,
cara menyembunyikan air mata,
cara tetap berdiri meski hati remuk.
Tapi tak ada yang mengajarkan kami cara memulihkan diri
ketika dunia terasa terlalu berat untuk ditanggung sendiri.

Sebagian dari kami tumbuh
bukan dengan kehangatan pelukan,
tapi dengan diam yang membeku di ruang makan,
dengan perintah pendek, suara keras, dan tatapan yang menuntut untuk "jadi laki-laki."

Kami belajar mencintai dalam diam.
Menanggung kehilangan dalam senyum.
Meredam marah dengan mengalihkan.
Dan ketika sakit datang, kami menyimpannya baik-baik—
di dada yang sudah terlalu sempit untuk sesak yang tak pernah disuarakan.

Luka itu diam. Tapi bukan berarti tak ada.
Ia tumbuh seperti benih di tanah gelap,
menjadi ketakutan akan ditinggalkan,
atau kemarahan yang tak tahu asalnya.

Namun kini aku tahu—
keberanian bukan hanya tentang bertarung ke luar.
Kadang keberanian adalah saat aku memejamkan mata
dan bertanya pelan pada diriku sendiri:

"Kamu baik-baik saja? Kalau belum… mau cerita ke siapa?"

Tidak semua luka harus diteriakkan.
Tapi tak semua luka juga harus diam-diam disimpan.
Di antara bisu dan tangis,
ada ruang untuk sembuh—
jika kita mau duduk sebentar,
dan membiarkan diri sendiri didengar.

"Kesembuhan dimulai saat kita berhenti berpura-pura tak terluka."
— Untuk yang terus belajar mencintai dirinya sendiri

#publik