Velinor

Mengapa Aku Sulit Akrab dan Terbuka pada Teman

Ada satu pertanyaan yang lama kubiarkan menggantung:
“Kenapa aku sulit akrab atau sekadar terbuka pada teman?”

Pertanyaan ini tidak muncul dari ruang kosong. Ia tumbuh dari banyak pertemuan yang terasa tidak pernah benar-benar menyentuh. Dari banyak percakapan yang berhenti di permukaan. Dari terlalu sering merasa sendiri di tengah keramaian.

Kupikir ini hanya soal kepribadian. Tapi semakin kupahami diriku, semakin kusadari bahwa ada lapisan-lapisan luka dan pertahanan yang tersembunyi di balik ketertutupan itu. Dan kadang, aku sendiri pun baru menyadarinya ketika sudah terlambat: ketika momen kepercayaan berlalu, ketika jarak tak bisa lagi dijembatani.

Berikut ini beberapa alasanku. Bukan untuk menyalahkan diri, tapi untuk memahami.


1. Karena Pernah Terluka Saat Mencoba Terbuka

Ada masanya aku mencoba jujur. Menceritakan isi hati yang sebenarnya. Tapi respons yang datang tidak membuatku merasa lebih dekat. Justru menimbulkan rasa malu, kecewa, bahkan rasa bersalah karena merasa telah membebani orang lain.

Sejak itu, aku belajar: diam lebih aman.


2. Karena Tak Terbiasa dengan Relasi yang Aman

Di masa tumbuh kembangku, ekspresi perasaan tidak selalu disambut dengan kehangatan. Kadang dianggap cengeng. Kadang diabaikan. Atau malah dijadikan bahan lelucon.

Aku tumbuh belajar menyimpan segalanya sendiri. Dan kini, aku terbiasa menyembunyikan banyak hal bahkan saat ada orang yang ingin mendekat.


3. Karena Sulit Percaya Orang Lain akan Tetap Bertahan

Ada keyakinan diam-diam di dalam diriku:

“Kalau aku buka diri, mereka akan pergi.”
“Atau mereka akan menggunakannya untuk menjatuhkanku.”

Jadi aku memilih membangun tembok, bukannya jembatan. Bahkan ketika aku merindukan keterhubungan.


4. Karena Takut Terlihat Lemah atau Tak Cakap

Di tempat kerja, aku pernah ingin bertanya ketika tugas terasa berat. Tapi suara di kepalaku berkata:

“Kalau kamu tanya, kamu akan dinilai tidak kompeten.”

Maka aku diam. Berpura-pura mengerti, dan menanggung beban sendirian.


5. Karena Kadang Rasa Sunyi Tak Punya Bahasa

Aku sering duduk di tengah obrolan ringan: tentang pasangan, keluarga, kisah sekolah dulu. Semuanya terdengar ringan dan menyenangkan bagi mereka. Tapi tidak bagiku.

Cerita-cerita itu membangkitkan kenangan yang tak bisa kuceritakan begitu saja. Ada luka yang tak punya padanan kata. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan dalam bahasa mereka.


6. Karena Takut Kehadiran Ini Tak Diinginkan

Ada momen saat seseorang menunjukkan perhatian padaku:

“Kamu keliatan tenang, tapi kayak menyimpan banyak hal…”

Ingin rasanya bilang:

“Iya. Aku punya banyak yang ingin kubagi. Tapi aku takut tidak diterima.”

Akhirnya aku hanya tersenyum dan berkata:

“Aku emang pendiem aja sih.”


7. Karena Sering Merasa ‘Berbeda’ di Tengah Mereka

Ketika orang-orang bercanda, spontan, atau saling menyela obrolan, aku kerap merasa asing. Gerakku lebih lambat. Tanggapanku sering datang terlambat. Dan saat aku siap bicara, obrolan sudah berganti topik.

Aku mulai merasa:

“Mungkin aku terlalu aneh untuk dimengerti.”


Maka jika suatu hari aku terlihat diam dalam pertemuan, bukan berarti aku tidak peduli.
Jika aku tidak membalas ajakan nongkrong atau menjauh saat ramai, bukan berarti aku dingin.
Mungkin aku hanya sedang menyembuhkan diriku dari rasa takut akan keterbukaan yang menyakitkan.

Aku masih belajar percaya. Masih mencari ruang yang cukup hangat untuk membuatku merasa aman menjadi diri sendiri. Dan pelan-pelan, aku ingin sampai di sana.


Kamu boleh sunyi, asal bukan berarti kamu sendirian.
Dan kamu boleh diam, tapi hatimu tetap punya suara.

Jika kamu juga merasa seperti ini, aku ingin bilang:
Aku mengerti. Aku ada. Kita tidak harus selalu kuat.

#pribadi