Menghindar dari Acara
Ada yang selalu menggangguku setiap kali undangan datang—sebuah pertanyaan sederhana: perlu kah aku hadir? Tidak jarang aku memilih menghindar, bukan karena benci pada orang-orang, melainkan karena ada jarak yang terasa sulit dijembatani.
Kadang alasannya adalah kecemasan sosial. Di tengah keramaian, aku merasa seperti sedang diperhatikan tanpa jeda, seolah setiap gerak tubuh dan kata bisa menjadi bahan penilaian. Aku takut salah, takut ditolak, atau sekadar takut terlihat kaku. Rasa itu menempel begitu kuat, membuat langkahku berat untuk beranjak.
Di lain waktu, alasannya adalah kelelahan. Setelah hari-hari yang penuh tuntutan, pikiranku hanya ingin diam. Aku tidak selalu punya energi untuk bercakap, tersenyum, atau berpura-pura bersemangat. Keramaian justru bisa terasa seperti arus yang menyeret, bukannya tempat bernafas.
Ada juga soal ketidakcocokan suasana. Beberapa acara hanya terasa seperti formalitas, penuh basa-basi yang asing bagiku. Aku duduk, tapi tak benar-benar hadir. Aku mendengar, tapi tidak merasa terhubung. Dalam momen-momen seperti itu, aku sering bertanya, untuk apa aku ada di sini?
Lalu ada bayangan masa lalu. Pernah ada pertemuan di mana aku merasa diabaikan, tidak didengar, atau bahkan dipermalukan. Tubuhku masih menyimpan memori itu. Jadi, menghindar menjadi semacam benteng—cara agar tidak mengulang rasa sakit yang sama.
Namun yang paling dalam mungkin adalah pencarian makna. Aku tidak ingin hadir hanya demi terlihat hadir. Ada kerinduan untuk berada di ruang yang membuatku merasa hidup, bukan sekadar ikut-ikutan. Karena itu, ketika sebuah acara tidak memberi ruang bagi hatiku untuk bernapas, aku memilih diam di rumah.
Menghindar, bagi sebagian orang, bisa dianggap kelemahan. Tapi bagiku, itu sering kali adalah pilihan. Pilihan untuk menjaga diri, untuk mendengarkan apa yang sungguh kubutuhkan. Dan mungkin, pada waktunya, ketika aku menemukan tempat yang benar-benar membuatku merasa aman dan berarti, aku akan berhenti menghindar—dan mulai hadir, sepenuhnya.