Normalisasi Objektifikasi: Refleksi Kritis terhadap Praktik Menggoda Perempuan di Ruang Publik
Pendahuluan
Objektifikasi seksual terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang terus berlangsung dalam berbagai bentuk, mulai dari representasi media hingga interaksi sehari-hari. Salah satu manifestasinya adalah praktik menggoda perempuan di ruang publik—sebuah tindakan yang sering kali dianggap wajar, bahkan dilihat sebagai ekspresi spontan atau bagian dari budaya maskulin. Namun, di balik anggapan tersebut, muncul kegelisahan dari sebagian individu maupun kelompok yang mempertanyakan legitimasi etis dan sosial dari tindakan semacam itu.
Tulisan ini bertujuan merefleksikan secara kritis praktik menggoda perempuan di ruang publik, dengan meninjau bagaimana tindakan tersebut kerap terjadi di luar konteks yang pantas serta berpotensi melanggengkan ketimpangan gender. Refleksi ini berangkat dari pengamatan sosial sekaligus kegelisahan kolektif atas budaya yang cenderung meremehkan dampak psikologis maupun simbolis dari praktik menggoda yang tidak berdasarkan persetujuan.
Objektifikasi Seksual dan Kuasa dalam Interaksi Sosial
Dalam kajian feminisme dan studi media, konsep male gaze yang dikemukakan Laura Mulvey (1975) menjelaskan bagaimana perempuan sering kali diposisikan sebagai objek visual demi kepuasan laki-laki¹. Pandangan ini tidak hanya terbatas pada film atau media visual, tetapi meluas ke ruang sosial, di mana tubuh perempuan menjadi sasaran komentar, lirikan, dan gestur seksual.
Praktik menggoda di ruang publik umumnya tidak memperhitungkan situasi dan kondisi psikologis perempuan yang menjadi sasaran. Banyak kasus menunjukkan bahwa perempuan digoda saat sedang bekerja, berjalan sendirian, atau bahkan ketika tidak menunjukkan tanda-tanda keterbukaan terhadap interaksi semacam itu. Ini menunjukkan absennya prinsip consent dalam interaksi, yang seharusnya menjadi landasan dasar dalam komunikasi interpersonal yang sehat.
Lebih lanjut, tindakan menggoda dalam konteks ini tidak jarang disertai oleh bentuk power play—yaitu upaya menegaskan dominasi maskulin di hadapan perempuan atau sesama laki-laki. Hal ini berkaitan erat dengan konsep hegemonic masculinity (Connell, 1995)², di mana maskulinitas diukur dari seberapa jauh seseorang dapat menunjukkan kontrol atau pengaruh, termasuk dalam konteks seksual.
Respons Sosial dan Problematisasi Bercanda
Salah satu tantangan dalam membongkar praktik ini adalah narasi pembelaan yang kerap muncul, seperti "hanya bercanda", "itu bagian dari budaya", atau "dia juga menikmatinya". Narasi semacam ini menunjukkan adanya normalisasi kekuasaan simbolik (Bourdieu, 2001)³, yaitu ketika dominasi diterima sebagai hal yang wajar karena telah melebur dalam kebiasaan sehari-hari.
Respons yang meremehkan atau bahkan menyalahkan korban menunjukkan bahwa masyarakat belum memiliki kesadaran kolektif tentang pentingnya empati dalam komunikasi gender. Padahal, banyak laki-laki, terutama generasi muda yang mulai terpapar wacana kesetaraan gender, merasa tidak nyaman dengan bentuk godaan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan batas pribadi dan situasi sosial perempuan.
Refleksi dan Kesadaran Baru
Refleksi ini bukan bertujuan untuk menghapus seluruh bentuk interaksi antar gender yang bersifat romantis atau bersahabat. Namun, ada perbedaan fundamental antara flirting yang setara dan menggoda yang menekan. Yang pertama lahir dari keterbukaan dua pihak, sementara yang kedua tumbuh dari asumsi superioritas dan kebebasan sepihak.
Munculnya ketidaknyamanan dari sebagian laki-laki terhadap praktik ini menandakan pergeseran kesadaran. Mereka mulai mempertanyakan nilai-nilai maskulinitas lama yang menempatkan keberanian di atas empati, dan "kejantanan" di atas kesetaraan. Dalam jangka panjang, kesadaran semacam ini dapat menjadi titik tolak bagi pembentukan budaya interaksi yang lebih adil dan saling menghormati.
Penutup
Menggoda perempuan di ruang publik bukanlah praktik netral. Ia membawa warisan panjang dari struktur kuasa dan norma gender yang timpang. Dengan menggeser sudut pandang dari pembenaran menuju refleksi, kita dapat mulai membongkar kebiasaan yang selama ini dianggap wajar namun sesungguhnya bermasalah. Sudah waktunya untuk memikirkan ulang bentuk-bentuk interaksi antar gender dengan pendekatan yang lebih etis, inklusif, dan manusiawi.
¹ Mulvey, Laura. (1975). Visual Pleasure and Narrative Cinema. Screen, 16(3), 6–18.
² Connell, R. W. (1995). Masculinities. Berkeley: University of California Press.
³ Bourdieu, Pierre. (2001). Masculine Domination. Stanford: Stanford University Press.