Pemetik Peta dari Negeri Tanpa Nama
Ada seorang anak yang lahir di sebuah negeri yang tak pernah diberi nama. Negeri itu tidak muncul di peta, tidak disebut dalam obrolan makan malam, bahkan tidak terdaftar dalam dongeng. Di sana, orang-orang berbicara pelan, menyimpan kasih dalam bentuk tugas, dan mengganti pelukan dengan diam.
Anak itu tumbuh, belajar bahwa tidak semua rasa harus diucapkan, tidak semua luka harus ditunjukkan. Ia menyusun kamusnya sendiri—bukan dari kata-kata orang dewasa, tapi dari suara yang tak pernah diizinkan tumbuh.
Ketika ia dewasa dan sampai di negeri baru—tempat orang-orang tertawa lantang, bertanya tentang cinta tanpa ragu, dan menyentuh tanpa aba-aba—ia merasa asing. Bukan karena ia tak ingin dekat, tapi karena ia tidak tahu caranya tanpa merasa ditelan.
Tapi ia tidak lari. Ia mengamati, mencatat, mencoba.
Ia menemukan bahwa meskipun peta negeri lamanya tak tercetak, ia bisa mulai menggambarnya sendiri. Di selembar kertas kecil, ia menulis:
"Di sini aku belajar menahan tangis." "Di sini aku belajar menatap langit saat merasa sendirian." "Dan di sini… aku mulai percaya bahwa aku boleh dicintai."
Pelan-pelan, anak itu berubah menjadi seorang pemetik peta—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk mereka yang juga datang dari negeri yang serupa. Ia menuliskan ulang suara-suara kecil yang dulu dikira tak penting. Ia menyulam jalan pulang, bukan ke masa lalu, tapi ke versi dirinya yang lebih utuh.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ia tidak lagi harus menjelaskan dari mana ia datang. Karena orang-orang akan belajar mendengarkan, bukan hanya bicara.