Permintaan yang Tak Terucap: Pelanlah Sedikit, Aku Sedang Belajar Bernapas
Aku sering mengucapkan kata itu tanpa sadar.
"Pelan, ya." "Tolong lebih pelan." "Bisa gak agak pelan sedikit?"
Kadang kupikir itu cuma soal kecepatan berbicara, atau ritme berjalan yang terlalu cepat. Tapi ternyata, itu adalah permintaan terdalam dari tubuhku yang pernah lelah berjuang untuk tetap hidup.
Dulu, aku pernah jatuh ke dalam tekanan yang begitu dalam hingga tubuhku mulai menolak semua bentuk kewaspadaan yang dipaksakan. Aku pernah mengalami stres sampai keracunan alkohol—dan dari situ, persepsiku terhadap dunia berubah. Aku merasa seakan akan mati. Aku menjadi hiper-vigilant: terlalu waspada, terlalu cepat membaca sinyal bahaya yang kadang tidak nyata. Bahkan sempat hadir delusi—bahwa aku lebih besar dari hidup ini, atau bahwa aku sedang dalam peran penting yang tak bisa dijelaskan.
Tapi di balik semuanya, satu hal tetap muncul dari mulutku, berulang-ulang: “Pelan, tolong pelan…”
Kini aku sadar. Kata itu bukan sekadar cara meredam dunia luar. Kata itu adalah permohonan batin, ditujukan untuk segala sesuatu yang terasa terlalu keras, terlalu cepat, terlalu mendesak bagiku yang sedang berusaha tetap utuh.
Aku tidak meminta dunia menjadi lambat. Aku hanya meminta dunia memberiku ruang. Aku tidak ingin orang lain mengubah segalanya. Aku hanya ingin waktu yang cukup untuk bisa menyusul diriku sendiri—yang dulu tertinggal, saat aku sibuk bertahan.
"Pelanlah sedikit..." Kalimat itu bukan bentuk kelemahan, tapi isyarat kasih. Kasih pada tubuhku yang pernah gemetar. Kasih pada pikiranku yang pernah kabur. Kasih pada jiwaku yang kini sedang belajar bernapas—untuk pertama kalinya, bukan karena panik… tapi karena ingin hidup sepenuhnya.