Psikologi di Balik Kesulitan Membentuk Keakraban yang Mendalam
Di antara keramaian percakapan dan interaksi sosial, tak sedikit orang yang merasa canggung saat harus membuka diri. Ada yang mudah bergabung dalam candaan, tapi tak pernah benar-benar merasa terlibat. Ada yang ingin berkata sesuatu, tapi ragu apakah suaranya akan diterima.
Bukan karena tak peduli. Bukan karena ingin menjauh. Ada banyak alasan mengapa seseorang tampak tertutup—dan semuanya sering kali berakar dari pengalaman yang tak terlihat.
1. Karena Pernah Terluka Saat Mencoba Terbuka
Beberapa orang pernah mencoba jujur. Membuka lapisan terdalam diri, berharap diterima. Namun respons yang datang justru menimbulkan rasa kecewa atau malu. Sejak itu, diam terasa lebih aman daripada mengambil risiko disalahpahami.
Contoh: Saat teman kerja bertanya, “Gimana kabarnya?” keinginan untuk jujur tentang kelelahan atau kecemasan hampir muncul—namun langsung terpendam. Yang keluar hanya, “Baik kok,” disertai senyum tipis.
2. Karena Tak Terbiasa dengan Relasi yang Aman
Ada lingkungan yang sejak awal tidak memberi ruang untuk mengekspresikan perasaan. Emosi dianggap kelemahan, atau dijadikan bahan olok-olokan. Dalam kondisi seperti itu, seseorang belajar menyimpan segalanya sendiri. Terbuka menjadi hal yang asing dan menegangkan.
Contoh: Dalam percakapan santai di kantor yang menyentuh topik keluarga, seseorang hanya diam. Ketika semua tertawa mengenang masa sekolah atau hubungan dengan orang tua, ia tak tahu harus berkata apa—karena ceritanya sendiri penuh luka.
3. Karena Sulit Memercayai Bahwa Orang Lain Akan Bertahan
Banyak yang menyimpan keyakinan diam-diam: jika terlalu jujur, orang-orang akan menjauh. Atau lebih buruk—menggunakan kejujuran itu untuk menjatuhkan. Maka dinding dibangun bukan untuk menolak kedekatan, tapi untuk melindungi diri.
Contoh: Saat rekan kerja menunjukkan kepedulian, seperti berkata, “Kamu kelihatan beda hari ini,” respons yang muncul hanya, “Nggak kok, cuma kurang tidur,” padahal sebenarnya ingin bicara lebih banyak.
4. Karena Takut Terlihat Lemah atau Tidak Cakap
Dalam lingkungan kerja, ada tekanan untuk terlihat kompeten. Ketika tugas terasa berat, seseorang mungkin ragu bertanya karena takut dinilai tidak mampu. Padahal yang dibutuhkan hanya ruang untuk merasa cukup manusiawi.
Contoh: Dalam proyek bersama, ada rasa ingin bertanya atau berdiskusi lebih dalam. Tapi karena takut dicap “kurang paham,” akhirnya memilih diam dan mengerjakan sendiri, meski tidak yakin benar.
5. Karena Sunyi Tak Selalu Punya Bahasa
Ada jenis sunyi yang tidak mudah dijelaskan. Ketika orang lain membicarakan hal-hal ringan—tentang pasangan, keluarga, masa lalu—beberapa orang hanya bisa tersenyum. Bukan karena tidak punya cerita, tapi karena kisahnya terlalu rumit untuk dibagi begitu saja.
Contoh: Dalam obrolan santai saat nongkrong sepulang kerja, seseorang merasa asing di tengah tawa yang terasa “jauh.” Ketika ditanya, “Kamu sendiri gimana?” hanya menjawab, “Nggak seru hidupku. Biasa aja,” padahal banyak yang ingin diceritakan.
6. Karena Kadang Tak Yakin Kehadirannya Diinginkan
Saat seseorang menunjukkan perhatian, mungkin ada rasa hangat yang muncul. Tapi di baliknya juga ada keraguan: “Apakah ini tulus? Apakah aku layak mendapatkannya?” Maka jarak tetap dijaga, meskipun hati ingin lebih dekat.
Contoh: Saat seorang rekan berkata, “Kamu tuh sebenarnya orang yang hangat, cuma jarang ngomong aja,” ada keinginan untuk berkata, “Aku takut dinilai,” tapi akhirnya hanya membalas, “Emang dasarnya pendiem sih.”
7. Karena Merasa Berbeda di Tengah Lingkungan Sosial
Tidak semua orang tumbuh dengan kecepatan sosial yang sama. Ada yang tanggapannya datang lebih lambat. Ada yang sulit menyesuaikan ritme obrolan cepat. Lalu muncul perasaan asing—seolah tak ada tempat yang benar-benar cocok.
Contoh: Dalam sebuah meeting informal atau grup WhatsApp kantor, orang lain saling lempar candaan dan komentar spontan. Sementara yang lain hanya bisa mengamati, merasa selalu terlambat memahami ritme, dan akhirnya memilih diam.
Jadi ketika seseorang terlihat diam dalam keramaian, mungkin bukan karena ingin menjauh.
Ketika ia tidak ikut bercanda atau menolak ajakan berkumpul, bukan berarti tidak peduli.
Bisa jadi, ia hanya sedang berusaha melindungi bagian rapuh dari dirinya yang belum siap dibuka di hadapan dunia.
Keterbukaan membutuhkan rasa aman. Dan rasa aman hanya tumbuh dalam ruang yang tidak menghakimi.
Setiap orang sedang belajar menemukan ruang itu—dalam relasi, dalam pertemanan, atau dalam dirinya sendiri.
Dan tidak apa-apa kalau prosesnya pelan. Tidak semua orang harus langsung akrab. Yang penting, tetap ada keberanian untuk mencoba menyambung, meski dengan langkah kecil.
Sebab setiap hati ingin dimengerti. Tapi tak semua tahu bagaimana memulainya.