đź§ Refleksi: Pengingat Lembut untuk Diriku yang Diam
🌿 Pembuka
Ada momen-momen ketika seseorang datang padaku dan bercerita—tentang luka mereka, tentang hal-hal yang rumit atau sekadar keseharian yang mengendap menjadi beban. Mereka berbicara, dan aku mendengarkan. Tapi setelahnya, sering kali aku diliputi keraguan:
"Apakah ekspresiku cukup berempati?"
"Apakah aku terlihat peduli?"
"Apakah diamku menyampaikan kehadiran, atau justru menciptakan jarak?"
Keraguan itu menempel, seperti bayangan yang mengikuti langkahku saat aku berjalan pulang dari percakapan itu. Diamku menjadi tanda tanya, bahkan bagiku sendiri.
🍂 Isi Refleksi
Aku menyadari bahwa aku bukan tidak peduli. Justru karena aku peduli, aku takut salah bicara. Takut kata-kataku terdengar dangkal, atau reaksiku tidak sebanding dengan rasa yang dibagikan padaku.
Terkadang, orang datang padaku karena mereka mengira aku peka. Wajahku yang tenang, gesturku yang lembut, mungkin memberi kesan bahwa aku tahu harus bagaimana. Padahal, jauh di dalam, aku sedang gugup, bingung, bahkan kosong. Aku mendengar dengan sepenuh hati, tapi sering kali tidak menemukan cara untuk mengungkapkan bahwa aku ada di situ—bukan sebagai penasihat, bukan pula sebagai pemecah masalah, melainkan hanya sebagai seseorang yang ingin menemani.
Dan mungkin, itu cukup.
Mungkin kehadiran tak harus selalu fasih dalam bahasa. Mungkin empati punya banyak bentuk, termasuk bentuk yang diam, ragu, atau hanya terasa lewat kehadiran yang tak lari.
đź’— Penutup: Pengingat untuk Diri
Hari ini aku ingin memberi pengingat lembut untuk diriku sendiri:
Aku mungkin tak selalu tahu harus berkata apa.
Tapi aku hadir, sepenuh hati, meski dalam sunyi.
Diamku bukan tanda tak peduli,
melainkan bentuk kasih yang sedang belajar bicara.
Aku sedang belajar, dan itu tidak apa-apa.
Aku sedang tumbuh, dan itu pun bagian dari cinta.
Aku tidak harus menjadi jawaban bagi semua orang,
yang penting, aku tidak kehilangan keberanian untuk hadir—bahkan ketika aku masih diam.