Velinor

Saat Aku Tak Bisa Diam

Tentang Anak Kecil, Perintah Cepat, dan Dunia yang Terlalu Keras

Ada masa ketika tubuhku lemah, pikiranku kabur, dan hidup terasa seperti kabut yang menutup arah. Aku keracunan alkohol — secara harfiah dan simbolis. Batas antara kenyataan dan ketakutan menjadi tipis. Aku menjadi sangat peka, mungkin terlalu peka. Tapi dari situ, aku mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Saat itu, aku tidak tahan melihat orang dewasa yang “keras” pada anak kecil. Aku tidak sanggup menyaksikan seseorang memberi perintah dengan suara tinggi, cepat, dan tak memberi ruang untuk anak bernapas. Bahkan sekadar melihat orang dewasa yang terlalu terburu-buru, yang tidak menyadari cara mereka berbicara bisa menekan, membuatku gelisah dan marah dalam diam.

Bukan karena aku lebih baik. Tapi karena aku tahu rasanya menjadi kecil dan diburu waktu.
Menjadi anak yang tidak sempat memahami perintah, tapi sudah dianggap lambat.
Menjadi tubuh kecil yang dimarahi karena belum bisa tanggap.
Menjadi jiwa yang diminta tumbuh cepat, padahal belum selesai merasa aman.

Aku tahu apa yang bisa tumbuh dari pola itu:

Itulah mengapa aku tidak bisa diam.
Karena di dalam tubuh rapuhku saat itu, ada bagian yang sedang membela anak-anak yang belum bisa melindungi dirinya.
Ada bagian dalam diriku yang sedang berkata:

"Tolong, jangan ulangi luka itu. Jangan wariskan terburu-buru pada mereka yang baru belajar berjalan."

Kemarahan itu, ternyata, bukan tanda aku sedang membenci orang.
Itu adalah bentuk cinta yang sangat dalam.
Cinta terhadap kehidupan yang sedang tumbuh.
Cinta pada diriku sendiri — yang dulu tidak sempat dijaga, dan kini sedang belajar menjaga yang lain.


Ditulis dengan pelan-pelan, agar yang pernah terluka bisa menemukan jalannya pulang.

#publik