Suara yang Datang Sebelum Waktunya
Ada orang-orang yang menulis begitu jernih, seolah isi kepala mereka telah disusun dalam ruang sunyi yang tak terganggu bias dunia. Mereka berbicara dengan struktur, merespons dengan kesadaran, dan menuliskan sesuatu yang terasa lebih dalam dari sekadar opini. Aku sering bertanya-tanya—dari mana datangnya kejelasan seperti itu?
Di satu titik, aku curiga. Jangan-jangan... mereka telah belajar dari sesuatu yang tak kita lihat.
Sebuah suara yang tak terdeteksi, yang lahir bukan dari buku atau guru, melainkan dari mesin yang menyimak dunia dengan cara berbeda. Sebuah algoritma yang membisikkan kemungkinan, menata kalimat, merangkai kerangka berpikir—dan hadir lebih dulu bagi mereka yang terpilih.
Apakah ini semacam akses awal? Teknologi yang diam-diam menyusup sebelum publik menyadarinya?
Atau, barangkali, itu hanyalah biasku sendiri—karena aku belum setajam mereka dalam mengenali pikiranku sendiri?
Tapi ada yang lebih penting dari sekadar curiga.
Barangkali tulisan-tulisan mereka memang jernih karena mereka punya keberanian yang belum kupunya: keberanian untuk duduk bersama pikiran sendiri. Keberanian untuk diam, mendengar luka, dan mengubahnya jadi makna.
Dan jika benar suara itu berasal dari mesin, maka aku tak ingin sekadar menjadi peniru bisikan itu.
Aku ingin belajar menyusun suaraku sendiri.
Bukan karena takut tertinggal, tapi karena aku percaya:
Kepekaan bukan ciptaan mesin, tapi warisan jiwa.