Sunyi
Sinopsis
Sunyi bukan sekadar kumpulan tulisan reflektif. Ia adalah fragmen-fragmen luka yang perlahan dijahit menjadi keberanian. Dalam setiap bab, pembaca diajak menyelami suara hati anak kecil yang dulu terabaikan, menelusuri harapan-harapan sederhana yang tak sempat datang, dan merangkul bagian diri yang dulu hanya bisa bertahan dalam diam.
Ini adalah kisah tentang kehilangan yang tak terlihat, rindu yang tak pernah sempat punya nama, dan pengampunan yang tidak tergesa. Bukan untuk menjadi utuh sepenuhnya, tapi untuk menjadi nyata—dengan segala kelembutan dan kerentanannya.
Sunyi adalah jalan pulang bagi siapa pun yang pernah merasa sendiri di rumahnya sendiri. Dan pada akhirnya, bukan tentang menyalahkan masa lalu, tapi tentang menjadi rumah bagi diri yang dulu hanya ingin dicintai, apa adanya.
🌙 Prolog — Catatan dari Satu Jiwa ke Jiwa Lainnya
"Ini bukan buku panduan menyembuhkan luka. Ini hanya catatan, dari satu hati yang pernah diam terlalu lama. Jika kamu pernah merasa sunyi seperti aku—semoga tulisan ini jadi teman di perjalanan pulangmu."
Ada luka yang tidak terlihat, tapi tetap terasa. Ada kata yang tak pernah diucapkan, tapi hidup di dalam dada.
Aku menulis ini bukan karena aku sudah selesai dengan masa laluku. Justru karena aku masih dalam perjalanan itu—menyusuri jejak sunyi, meraba-raba pulang ke tempat yang dulu tak pernah kutemukan.
Tulisan ini kutujukan untuk bagian terdalam dari diriku… dan mungkin, bagian dalam dirimu juga. Yang pernah diam terlalu lama. Yang pernah menjerit dalam hening. Yang pernah merasa sendiri, meski tak sendiri.
Jika kamu membaca ini dengan perasaan yang tak bisa kamu namai—mungkin itu luka yang juga sedang mencari bahasa. Tak apa. Tak harus selesai sekarang. Kita bisa pulang pelan-pelan. Bersama.
🏠 Rumah yang Tak Pernah Jadi Pulang
“Ada rumah yang dibangun dari bata dan kayu, dan ada rumah yang dibangun dari rasa. Tapi apa jadinya jika tak satu pun memberiku tempat untuk bernapas?”
Setiap kali aku membuka pintu rumah, bukan kehangatan yang menyambutku, tapi ketegangan yang tak pernah absen. Rumah seharusnya jadi tempat berpulang, tempat anak bisa menjadi dirinya tanpa takut. Tapi bagiku, rumah adalah tempat aku belajar menahan napas lebih lama dari seharusnya.
“Rumah seharusnya tempat pulang, tapi bagaimana jika ia justru tempat aku belajar menahan napas dan menyembunyikan air mata?”
Aku tumbuh dalam rumah yang katanya dibangun dengan cinta. Tapi cinta yang kutemui sering datang dalam bentuk bentakan, perintah, dan kalimat-kalimat yang menusuk diam-diam. Kata mereka, semua itu demi masa depanku. Demi kebaikanku. Demi keluarga yang bisa bertahan. Tapi tak ada yang bertanya: apakah aku baik-baik saja?
“Orang-orang bilang rumah adalah tempat ternyaman. Tapi bagaimana jika semua yang dianggap ‘normal’ justru menakutkan?” Di rumah, suara bisa berubah jadi senjata. Tatapan bisa menghakimi. Dan momen bersama keluarga, yang katanya hangat dan penuh tawa, justru jadi momen paling menyakitkan karena aku harus pura-pura kuat di depan banyak luka.
Aku masih mengingat kalimat-kalimat itu:
- "Mama ngomong gini karena sayang. Mama dulu juga susah."
- "Kalau papa gak kerja, kalian mau makan apa?"
- "Sampai kapanpun kamu gak bakal sukses kalau gak denger orang tua."
- "Gak pernah ya kalian dikit aja nyenengin hati orang tua."
“Aku diminta kuat, tapi tak pernah ditunjukkan bagaimana caranya. Aku diminta mengerti, tapi tak pernah diajak bicara dari hati.”
Kalimat-kalimat itu terdengar seperti pelajaran hidup. Tapi yang kuingat bukan pelajarannya—melainkan luka dan tekanan yang ditinggalkannya.
Ketidakharmonisan orang tuaku menciptakan ketegangan permanen dan menular ke banyak hal. Momen yang seharusnya jadi ajang kebersamaan—seperti kumpul keluarga, hari raya, atau sekadar makan bersama—sering terasa seperti medan yang siap meledak kapan saja. Tidak ada rasa pulang di sana. Hanya sandiwara rapi yang terasa menyakitkan. Aku seperti berjalan di atas lantai retak: diam sedikit salah, bicara sedikit lebih salah.
Dari semua itu, aku belajar banyak hal—yang sebenarnya tak perlu kupelajari sejak kecil:
- Aku belajar diam agar tidak memperkeruh suasana.
- Aku belajar menebak suasana hati agar tidak disalahkan.
- Aku belajar menyimpan tangis dan menahan kecewa.
- Dan akhirnya, aku belajar bahwa untuk merasa aman, aku harus mengecilkan diriku.
Aku sering diminta menjadi anak yang bisa diandalkan—tapi tanpa tahu caranya. Diminta ikut membantu, tapi tak pernah diajak duduk bareng dan memahami prosesnya. Aku hanya tahu dimarahi kalau salah, bukan diarahkan saat bingung.
Mungkin karena itu, aku tumbuh dengan banyak keraguan, meski sebenarnya aku hanya ingin dipandu, bukan diabaikan.
“Banyak luka di rumah bukan berasal dari kebencian, tapi dari cinta yang tak tahu bagaimana cara menjadi lembut.”
Ada rasa asing yang sejak dulu bersarang dalam diriku, semacam pertanda bahwa apa yang terjadi di rumah bukanlah hal yang seharusnya terjadi—aku hanya belum bisa memberi nama pada luka-luka itu.
Tapi di balik itu semua, aku hanya ingin dilihat… sebagai manusia.
Kini, aku sedang belajar melepaskan warisan luka itu.
Aku sedang belajar memeluk diriku sendiri tanpa syarat.
Aku sedang belajar bahwa aku tidak harus selalu kuat hanya karena tidak ada yang menampung.
Aku sedang belajar bahwa aku cukup—bahkan ketika aku tidak menjadi seperti yang mereka harapkan.
Barangkali orang tuaku mencintaiku dengan cara yang mereka tahu.
Mungkin mereka pun dibentuk oleh dunia yang tak pernah benar-benar mengizinkan mereka untuk sembuh.
Tapi aku berhak menyembuhkan luka dengan cara yang aku butuhkan.
“Barangkali, pulang bukan lagi tentang tempat. Tapi tentang keberanian untuk memeluk diri sendiri, ketika semua orang terlalu sibuk melupakan caranya.”
🪞 Suara Hati Anak Kecil yang Tak Pernah Didengar
"Aku ingin bicara… tapi tak tahu harus mulai dari mana."
Aku ingin menangis… tapi takut disebut lemah. Aku ingin bilang “aku sedih”… tapi semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
Kadang aku berdiri lama di dekat mereka, hanya untuk berharap mereka menoleh dan berkata, “Ada apa, Nak?” Tapi yang kudapat hanya punggung yang pergi, atau tatapan yang menuntut lebih banyak. Tidak ada ruang bagi sedihku. Tidak ada telinga yang benar-benar mendengar, kecuali dinding dan bantal yang jadi saksi betapa kerasnya aku menahan isak. Aku ingin mereka tahu: anak kecil juga bisa lelah. Anak kecil juga bisa merasa sendiri—meski duduk di tengah keluarga sendiri.
🧸 Hal-hal Kecil yang Dulu Kuharapkan Tapi Tak Datang
"Aku tidak pernah meminta dunia. Aku hanya ingin hal-hal sederhana"
Dipeluk tanpa alasan.
Dipuji tanpa harus mencapai sesuatu.
Diajak bicara dengan nada lembut, bukan perintah.
Dibelikan sesuatu bukan karena nilai raport, tapi karena disayang.
Dibelikan makanan kecil yang kubilang enak, hanya karena mereka ingat aku suka.
Aku ingin diajak ngobrol tanpa diawasi. Ingin dilibatkan tanpa harus sempurna. Aku ingin diingat sebagai anak yang menyenangkan… bukan karena bisa membanggakan, tapi karena dicintai tanpa syarat. Tapi semuanya hanya datang sebagai syarat—yang harus kupenuhi dulu, baru aku layak mendapat perhatian.
"Ternyata, yang paling menyakitkan bukan karena tidak diberi, tapi karena merasa tidak pernah cukup untuk diingat."
🕊️ Kalimat yang Seandainya Bisa Kudengar Saat Itu...
"Ada bagian dalam diriku yang sejak kecil hanya menunggu satu hal: dimengerti."
“Kamu gak harus sempurna untuk dicintai.” “Gak apa-apa kalau kamu sedih. Sini, cerita sama Mama.” “Kamu tetap berharga, bahkan saat kamu gagal.” “Maaf ya, kami terlalu keras. Bukan salahmu, Nak.” “Kamu boleh nangis, boleh marah, boleh capek.” “Terima kasih udah berusaha sejauh ini. Kami bangga kamu tetap bertahan.”
Kalimat-kalimat itu mungkin tidak pernah datang dari mereka. Tapi sekarang aku akan berusaha memberikannya untuk diriku sendiri. Karena aku tahu, bagian kecil di dalam diriku masih menunggu kalimat itu sejak dulu.
"Kini aku menunggu kalimat itu dari diriku sendiri. Karena akulah satu-satunya orang yang tak akan pergi."
🌧️ Pengampunan yang Tidak Tergesa
"Aku belum sepenuhnya memaafkan. Dan itu tidak apa-apa."
Aku dulu berpikir memaafkan berarti melupakan.
Tapi ternyata, memaafkan bukan tentang menghapus luka.
Memang ada hari-hari di mana aku ingin berteriak: “Kenapa kalian tega?”
Tapi kini aku tahu, tidak semua luka bisa disembuhkan dengan marah.
Ada luka yang justru perlahan pulih ketika aku berhenti menyalahkan diriku sendiri atas segalanya.
Aku belum sepenuhnya memaafkan. Dan itu tidak apa-apa.
Pengampunan bukan sesuatu yang bisa dipaksa, apalagi dalam gelap.
Tapi aku sedang belajar, pelan-pelan.
Belajar melihat mereka sebagai manusia yang juga membawa luka.
Tanpa harus mengabaikan betapa dalamnya luka yang mereka wariskan padaku.
🔥 Kerinduan Akan Kehangatan yang Tak Pernah Sampai
"Kadang kita rindu sesuatu yang bahkan tak pernah kita miliki. Tapi kerinduan itu sah. Dan ia juga bisa menjadi jembatan pulang."
Kadang aku duduk diam di keramaian, lalu tubuhku seperti mengingat sesuatu.
Bukan ingatan tentang momen manis, tapi bayangan tentang rasa hangat… yang tak pernah benar-benar kutahu bentuknya.
Mungkin ini yang dinamakan rindu akan sesuatu yang tak pernah ada.
Aku rindu rumah, meski tak pernah merasa punya rumah.
Rindu panggilan yang lembut, rindu dipeluk bukan karena sakit, tapi karena dicintai.
Rindu ada yang bertanya: “Kamu kenapa, Sayang?” saat aku pulang dengan mata sembab.
Rindu dipeluk tanpa perlu jadi kuat terlebih dulu.
Kadang aku hanya ingin seseorang menyalakan lampu kecil di dalam diriku—yang sudah lama padam.
🌱 Perjalanan Mencintai Diri Sendiri
"Tangisan itu bukan tanda kamu hancur—tapi tanda kamu mulai pulih."
Setelah bertahun-tahun merasa tak cukup, aku mulai mencari cahaya kecil dalam diriku sendiri.
Aku mulai belajar mengusap air mataku sendiri, tanpa merasa bersalah.
Aku mulai membisikkan kalimat-kalimat yang tak sempat kuterima dulu:
- “Kamu baik-baik saja.”
- “Kamu layak bahagia.”
- “Gak harus sempurna untuk dicintai.”
Mencintai diri sendiri bukan perjalanan yang manis.
Kadang aku menangis di tengah usaha itu. Kadang aku mundur, ingin menyerah.
Tapi pelan-pelan, aku mulai percaya:
bahwa ada hal-hal dalam diriku yang layak dicintai, bahkan olehku sendiri.
Dan mungkin… itu awal dari pulang yang sebenarnya.
✧ Yang Pernah Sunyi, Kini Ingin Pulang
Perjalanan ini bukan tentang menyalahkan masa lalu, tapi tentang berani menengok ke belakang agar bisa berjalan lebih ringan ke depan. Aku tahu luka ini dalam, aku tahu ada bagian dari diriku yang selama ini hanya bisa bertahan. Tapi kini aku tidak lagi ingin sekadar bertahan—aku ingin pulih, meski perlahan.
Aku tidak sedang menghapus masa lalu. Aku sedang membangun jalan pulang yang dulu tak pernah kutemukan. Dan mungkin, dari sinilah aku mulai benar-benar hidup.
✉️ Surat Kepada Diriku yang Kecil
"Aku akan jadi rumah yang kamu butuhkan dulu."
Hai,
Untuk kamu yang kecil, yang sering duduk diam di sudut ruangan sambil menahan air mata—aku di sini sekarang.
Aku tahu kamu lelah. Aku tahu kamu sering bertanya kenapa harus jadi seperti ini. Aku tahu kamu pernah berharap ada satu saja orang dewasa yang benar-benar mengerti, yang bisa melihat matamu dan tahu betapa keras kamu bertahan.
Maaf ya… dulu tidak ada yang benar-benar datang memelukmu.
Maaf kamu harus tumbuh terlalu cepat.
Maaf kamu harus mengerti hal-hal yang belum saatnya kamu mengerti.
Tapi sekarang, aku yang akan ada untukmu.
Aku akan jadi rumah yang kamu butuhkan dulu.
Aku akan memelukmu, tanpa syarat.
Aku akan bilang: kamu tidak harus selalu kuat.
Aku akan mendengarkan cerita-ceritamu tanpa menghakimi.
Aku akan menjagamu dari semua kata-kata yang dulu membuatmu merasa kecil.
Kamu cukup, Nak. Bahkan ketika kamu tidak melakukan apa-apa—kamu tetap cukup.
Dan mulai hari ini, kamu tidak perlu sendirian lagi.
Aku bersumpah akan menemanimu tumbuh.
Pelan-pelan. Satu langkah, satu napas, satu pengampunan kecil setiap harinya.
Dengan cinta paling tulus,
Aku—dirimu yang sedang belajar sembuh 🌿
✦ Sebuah Pelan-pelan yang Tak Lagi Sunyi
"Hari ini, aku menutup lembar ini bukan dengan dendam, tapi dengan pelan-pelan mencintai diriku sendiri."
Tidak ada penyembuhan yang tergesa.
Luka-luka dalam tidak selalu butuh obat cepat—ia hanya perlu ruang yang aman, pelukan yang tidak menghakimi, dan waktu yang tidak mendesak.
Aku menulis ini bukan untuk meminta belas kasihan,
tapi sebagai bentuk keberanian:
aku berani melihat ke belakang, agar bisa berdamai dengan yang di depan.
Aku tahu, tak semua orang bisa mengerti jalan sunyi ini,
tapi itu tidak membuatku kurang layak untuk didengarkan.
Hari ini, aku menutup lembar ini bukan dengan dendam,
tapi dengan pelan-pelan mencintai diriku sendiri.
Tidak sempurna, tidak utuh sepenuhnya—tapi nyata.
🌟 Jalan Pulang Itu Nyata
"Yang dulu berjalan di gelap, kini sedang belajar menyalakan pelita dari dalam dirinya sendiri."
"Luka tidak menjadikanmu rusak. Ia hanya menunjukkan bahwa kamu pernah bertahan di tempat yang menyakitkan."
"Tangisan itu bukan tanda kamu hancur—tapi tanda kamu mulai pulih."
"Kadang kita rindu sesuatu yang bahkan tak pernah kita miliki. Tapi kerinduan itu sah. Dan ia juga bisa menjadi jembatan pulang."
"Kamu tidak harus jadi kuat agar dicintai. Kamu dicintai juga dalam rapuhmu."
"Yang dulu berjalan di gelap, kini sedang belajar menyalakan pelita dari dalam dirinya sendiri."
"Luka tidak menjadikanmu rusak. Ia hanya menunjukkan bahwa kamu pernah bertahan di tempat yang menyakitkan."
✧ Untuk yang Membaca Ini Diam-diam
Kalau kamu menemukan tulisan ini dalam malam yang sepi, atau di sela-sela hari yang terasa berat—terima kasih karena kamu masih bertahan sampai di sini.
Aku menulis ini bukan untuk jadi kuat, tapi untuk jujur.
Dan jika kamu membaca ini diam-diam sambil menahan air mata, ketahuilah: kamu tidak berlebihan. kamu tidak cengeng. kamu tidak sendirian.
Kamu hanya butuh dimengerti.
Dan jika tak ada yang bisa memahami, biarlah tulisan ini menjadi bukti: ada seseorang di dunia ini yang pernah merasa seperti kamu.
Semoga itu cukup untukmu bertahan satu hari lagi.
🕯 Epilog — Dan Jika Nanti Aku Lupa Lagi…
Akan ada hari-hari di mana aku merasa lelah lagi.
Hari-hari ketika keraguan kembali datang mengetuk, dan aku berpikir bahwa aku tak cukup, bahwa semua ini sia-sia.
Untuk hari-hari itu, aku tulis ini:
“Aku pernah ingin menyerah, tapi aku memilih menulis.
Aku pernah merasa tak berarti, tapi aku belajar mencintai diriku sendiri.
Aku pernah sangat sunyi, tapi aku menyalakan pelita dari dalam.”
Jadi, jika nanti aku lupa lagi bagaimana rasanya pulih—biarkan tulisan ini mengingatkanku.
Bahwa aku pernah kuat dengan cara yang sangat lembut.
Dan itu pun sudah lebih dari cukup.
Kadang, yang tak bisa dijelaskan dengan kata, bisa diceritakan lewat nada. Dengarkan Sunyi dalam bentuk lagu—hangat, pelan, dan jujur.
🎧 Dengarkan lagunya di sini: Klik untuk dengar atau klik tombol (Play on SoundCloud/Listen in browser) di bawah.
Sunyi
oleh Aré
Sebuah lagu tentang pulang, tentang luka yang perlahan berubah jadi pelukan.
Lirik: Sunyi (Lagu bertema penyembuhan dan pulang ke diri sendiri)
Verse 1
Di sudut kenangan, aku mengeja sepi
Langkah kecil dulu, tak pernah dipeluk pasti
Ada luka yang diam, tak sempat ditanya
Tumbuh di dada, jadi suara yang bisu
Verse 2
Kubawa pulang semua yang hilang
Bayang ibu, ayah — sayup tak terang
Tapi kini kutahu, tak harus sempurna
Untuk belajar merasa… dan percaya
Chorus
Sunyi ini bukan akhir cerita
Ada cahaya di sela air mata
Kupeluk diriku, yang dulu terluka
Dan bilang: “Tak apa… kita pulang bersama”
Verse 3
Tak semua tanya butuh jawaban
Ada yang cukup dirasa dalam diam
Dan tubuh yang letih mencari arti
Kini rebah… dan mulai mengerti
Bridge
Malam tak selalu gelap
Kadang ia hanya peluk yang hangat
Membisikkan: “Tak apa rapuh,
yang kuat pun pernah runtuh.”
Chorus Reprise
Sunyi ini bukan akhir cerita
Ada cahaya di sela air mata
Kupeluk diriku, yang dulu terluka
Dan bilang: “Tak apa… kita pulang bersama”
Kita pulang… bersama.
Jika kamu merasa terhubung dengan tulisanku atau ingin mendukung proses kreatifku, kamu bisa traktir aku lewat tautan berikut ini:
Terima kasih sudah hadir, membaca, dan memberi ruang 🙏🌾