Sunyi yang Disalahpahami
Mereka menyebutku sombong,
mereka menilai aku angkuh.
Padahal aku hanya diam,
membiarkan dunia berbicara dengan caranya sendiri.
Diamku bukan benteng,
meski sering tampak seperti dinding yang menjulang.
Diamku adalah jalan setapak di hutan,
sepi, tapi menuntun siapa saja yang berani menapakinya.
Aku tahu, dari luar wajahku tampak kaku,
kata-kataku sering terlambat datang,
dan gerakku terlalu hemat untuk dianggap ramah.
Namun, bukankah ada jiwa-jiwa
yang memang belajar lebih banyak dari sunyi
daripada dari pesta kata-kata?
Aku ingin mereka tahu—
keangkuhan bukan rumahku,
aku hanya sedang belajar berdamai dengan diriku sendiri.
Jika tatapanku dingin, itu karena aku menjaga bara di dalam dada.
Jika lisanku pelit bicara, itu karena aku merawat kata
agar tak melukai siapa pun.
Andai mereka bisa melihat hatiku,
mereka akan menemukan ruang yang selalu terbuka:
kursi kayu sederhana,
segelas air hangat,
dan undangan untuk duduk sebentar.
Mungkin aku perlu menabur tanda-tanda kecil—
sebuah senyum ringan,
sebuah anggukan yang tulus,
atau satu kalimat sederhana: “Aku mendengarmu.”
Agar sunyiku tak lagi disalahpahami,
agar diamku bukan lagi nama lain dari angkuh,
melainkan bahasa lain dari cinta
yang belum semua orang tahu cara membacanya.
Epilog
Pada akhirnya, aku sadar:
diam bukan dosa,
tapi juga bukan alasan untuk bersembunyi.
Jika dunia menafsirkan sunyiku sebagai keangkuhan,
mungkin tugasku hanyalah menyalakan lentera kecil—
cukup terang untuk menunjukkan bahwa aku ada,
cukup hangat untuk menepis salah paham.
Karena di balik wajah yang tampak jauh,
ada aku yang sesungguhnya ingin dekat.