Surat untuk Ee Kecil
Namaku Ee — dua huruf, sederhana dan lembut. Tapi dalam keseharian, orang-orang terdekat sering menyebutku hanya dengan “e”. Bukan huruf kapital, bukan untuk memanggil dengan lantang. Tapi “e” yang kecil, nyaris berbisik, seperti nama sayang yang lahir dari keakraban.
Aku tak selalu ingat siapa yang pertama kali memanggilku begitu, tapi aku tahu rasanya:
Dikenali bukan karena lengkapnya namaku, tapi karena dekatnya hati mereka.
Dan hari ini, aku ingin memanggil kembali “Ee” yang dulu —
bukan sebagai suara kecil yang hilang, tapi sebagai bagian utuh dari siapa aku sekarang.
Hai, Ee kecil...
Maaf, aku lama sekali tidak menyapamu.
Maaf karena dunia terlalu cepat, dan aku pernah ikut-ikutan terburu-buru melupakanmu.
Aku ingat kamu.
Kamu yang suka menyimak lama sebelum bicara.
Kamu yang bingung menjawab saat orang dewasa memberi perintah dengan nada tinggi.
Kamu yang tidak tahu bagaimana cara mengejar dunia yang terus berlari.
Aku tahu kamu sering dianggap lambat.
Padahal kamu hanya belum selesai merasa aman.
Padahal kamu cuma ingin sedikit waktu untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Aku tahu kamu tidak suka suara keras.
Tidak suka saat orang dewasa menyuruh tanpa melihatmu benar-benar.
Tidak suka ketika kamu hanya dianggap tubuh kecil yang harus taat, cepat, dan tanggap.
Tapi kamu tidak salah, sayang.
Kamu tidak rusak.
Kamu hanya belum sempat dipeluk cukup lama.
Aku pernah marah karena melihat anak kecil ditekan.
Aku pernah gemetar melihat orang dewasa terburu-buru tanpa sadar.
Dan saat itu aku sadar:
Kemarahan itu datang bukan dari benci. Tapi dari cinta.
Cinta untuk kamu — yang dulu tak bisa melawan.
Cinta untuk kamu — yang dulu hanya bisa diam dan menyimpan semuanya sendiri.
Hari ini, aku menulis ini untukmu.
Untuk bilang:
“Kamu tidak harus cepat. Kamu hanya perlu aman. Kamu layak untuk tumbuh pelan-pelan.”
Kalau dunia memaksamu jadi dewasa terlalu dini,
maka izinkan aku sekarang jadi dewasa yang tahu cara menjaga kamu.
Biar aku yang melindungimu.
Biar aku yang bilang ke dunia:
“Pelanlah sedikit… anak ini sedang belajar bernapas.”
Dan kamu tidak sendirian lagi.
Dengan cinta dari masa depan,
yang sedang belajar pelan-pelan memulihkan kita.
Ibuku pernah bilang, nama panggilanku “Ee” berasal dari seseorang yang dulu mengasuhku.
Dalam tradisi, kadang anak diasuh oleh sepupu, tetangga, atau siapa saja yang lebih dulu tumbuh.
Aku lupa siapa orang itu. Mungkin karena tumbuh dengan trauma membuatku enggan mengingat,
dan jarangnya bertemu menjauhkan kenangan yang mungkin dulu hangat.Tapi hari ini, aku tidak memaksa diri untuk tahu. Aku hanya ingin memeluk bagian dalam diriku
yang dulu pernah dipanggil “Ee” dengan lembut—walaupun aku belum tahu siapa yang pertama kali melafalkannya.Dan mungkin nanti, jika hatiku dan hati kedua orang tuaku sudah cukup saling mendengar,
aku akan bertanya. Bukan untuk mengorek masa lalu, tapi untuk mengakui bahwa “Ee” itu ada.
Dan dia layak dikenali, dicintai, dan diingat… oleh diriku yang sekarang.