tak pernah cukup sendiri
Dalam masyarakat modern, kemandirian bukan lagi sekadar kualitas; ia telah menjadi mitos. Sebuah kisah besar yang dibisikkan sejak dini—bahwa menjadi dewasa adalah menjadi cukup, menjadi mampu, menjadi tidak bergantung. Kita tumbuh dalam keyakinan bahwa semakin sedikit kita membutuhkan orang lain, semakin tinggi nilai diri kita.
Namun, di balik narasi ini, ada paradoks yang sunyi. Di saat kita diajari untuk “kuat sendiri”, kita kehilangan seni untuk hadir bersama. Kemandirian yang diagungkan itu, perlahan menjelma menjadi isolasi yang terbungkus rapi: kita tampak utuh di luar, tapi lapuk di dalam. Kita tahu caranya bertahan, tapi lupa caranya disandarkan.
Aku pun pernah—dan masih—berdiri di persimpangan itu: ingin dekat tapi tak tahu bagaimana, ingin dibantu tapi tak sanggup meminta. Ada rasa malu yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan, seolah mengakui kebutuhan adalah bentuk kelemahan yang tak boleh ditunjukkan. Padahal, bukankah keberanian sejati bukan terletak pada kekuatan untuk menyelesaikan segalanya sendiri, tetapi pada kerelaan untuk terlihat lemah di hadapan orang lain?
Kesepian hari ini bukan sekadar soal keterpisahan fisik. Ia tumbuh dari budaya yang menyanjung individu sebagai satuan utuh—terpisah dari jaringan, dari relasi, dari saling butuh. Kita diajari untuk menjadi pulau, padahal manusia tak pernah diciptakan sebagai daratan tunggal. Kita adalah gugus—fragmen yang saling menyempurnakan.
Mungkin, yang perlu kita pelajari ulang bukan hanya cara berdiri sendiri, tapi juga cara bersandar. Bukan hanya cara memberi, tapi juga menerima. Sebab di sanalah, di dalam keberanian untuk saling bergantung, kita menemukan kembali kemanusiaan kita yang paling purba: bahwa untuk hidup, kita memang tak pernah cukup sendiri.
Catatan penulis: Tulisan ini adalah seri lanjutan dari postingan ketika pemberian menjadi bayangan