Yang Terjadi Saat Kita Bercinta Tapi Tak Saling Peduli
Seks sering disebut intim. Padahal, seringnya itu cuma dua orang telanjang yang saling pakai.
Kita menyentuh bukan karena sayang, tapi karena butuh validasi. Butuh bukti bahwa kita masih diinginkan, meskipun hanya untuk satu malam.
Dan kita diam-diam tahu: yang disentuh bukan diri kita—hanya daging. Yang diciumi bukan kehadiran kita—hanya kulit.
Kita pura-pura menikmati, karena lebih gampang pura-pura orgasme daripada bilang: “Aku nggak ngerasa apa-apa.”
Dan dia juga pura-pura peduli, karena kepedulian itu bukan niat—cuma cara agar bisa tidur tanpa merasa terlalu brengsek.
Kadang aku melihat ke langit-langit kamar, setelah selesai, dan bertanya dalam hati: "Apa yang barusan terjadi?" Bukan karena bingung. Tapi karena kosong.
Yang tinggal cuma bau keringat dan tisu bekas. Tidak ada kedekatan. Tidak ada jiwa. Hanya dua manusia yang sama-sama gagal merasa utuh dan saling pakai tubuh untuk menipu waktu.
Orgasme tidak membuatku merasa hidup. Ia membuatku sadar betapa cepat semuanya berakhir. Dan betapa aku masih sendiri, bahkan saat ada tubuh di sebelahku.
Seks seperti ini tidak membunuhku. Tapi juga tidak menyelamatkanku. Ia hanya mengulur waktu, sebelum aku harus jujur bahwa aku tidak baik-baik saja.
Dan yang paling menyakitkan? Kadang aku yang mulai lebih dulu. Karena merasa lebih baik jadi objek yang dipakai, daripada jadi manusia yang ditinggal.
Kalau ini terlalu jujur, terlalu keras, mungkin karena akhirnya aku lelah pura-pura bahwa seks selalu indah. Kadang seks itu kosong, dan kita tahu itu, tapi tetap melakukannya— karena kita tak tahu cara lain untuk merasa dicintai.